REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kredit dalam pembiayaan syariah menjadi salah satu alternatif masyarakat untuk mendapatkan pinjaman, tetapi tetap dalam kooridor syariah. Penyediaan jasa kredit atau pembiayaan pun menjadi salah satu unggulan lembaga keuangan syariah untuk mendulang pundi.
Pada Semester 1 tahun 2016, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebutkan, pembiayaan memiliki peran penting untuk ikut mendongkrak industri perbankan syariah. Penyaluran pembiayaan naik 7,47 persen dari tahun 2015 menjadi Rp 220,1 triliun. Sektor pembiayaan yang disalurkan pun beragam dari usaha mikro kecil dan menengah hingga pembiayaan infrastruktur.
Layaknya lembaga keuangan konvensional, lembaga keuangan syariah pun menetapkan denda bagi peminjam yang tidak melunasi kreditnya. Hanya, masih menjadi pertanyaan di kalangan masyarakat tentang perbedaan riba dengan denda atau sanksi bagi nasabah yang gagal bayar. Apakah menetapkan denda tersebut terhitung halal atau dilarang syariah?
Menurut Muktamar Tarjih Muhammadiyah XXII, riba berarti tambahan atau kelebihan tanpa imbalan jasa atau barang yang diharuskan bagi salah satu dari dua orang pelaku akad. Hukum riba adalah haram menurut QS al-Baqarah: 275. Berbeda dengan kredit atau pinjaman berdasarkan syariah yang berlandaskan prinsip tolong menolong (tabarru'at), bagi hasil (musyarakah), pinjaman dana (qardh), hingga jual beli (ishtishna).
Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI) menjelaskan, banyak warga yang memerlukan pembiayaan Lembaga Keuangan Syariah berdasarkan pada prinsip jual beli ataupun akad lain. Pembayarannya dilakukan kepada LKS secara angsuran. Nasabah mampu terkadang menunda-nunda kewajiban pembayaran, baik dalam akad jual beli maupun akad yang lain. Pada waktu yang ditentukan berdasarkan kesepakatan di antara kedua belah pihak.
Di dalam Alquran, Allah Ta'ala berfirman, "Hai orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu.." (QS al-Maidah: 1). Imam Ibnu Katsir menjelaskan, Ibnu Abbas dan Mujahid mengatakan, apa yang dimaksud dengan uqud adalah perjanjian-perjanjian.
Ibnu Jarir meriwayatkan akan adanya kesepakatan mengenai makna ini. Ia mengatakan, 'uqud' mengandung arti apa yang biasa mereka cantumkan dalam perjanjian-perjanjian mereka menyangkut masalah hilf (perjanjian pakta pertahanan bersama) dan lain-lainnya.
Janji-janji itu menyangkut hal-hal yang dihalalkan oleh Allah dan hal-hal yang diharamkan-Nya serta hal-hal yang difardukan oleh-Nya dan batasan-batasan yang terkandung di dalam Alquran seluruhnya. Dengan kata lain, jangan kalian berbuat khianat dan janganlah kalian langgar hal tersebut.