Rabu 22 Feb 2017 15:45 WIB

Naik Haji tanpa Muhrim, Bolehkah?

Rep: Heri Ruslan/ Red: Agung Sasongko
Haji
Foto: Republika/Amin Madani
Calon jamaah haji Indonesia saat tiba di Bandara Amir Muhammad bin Abdul Aziz (AMAA) Madinah. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pendapat ulama dari Mazhab Syafi'i sedikit lebih longgar. Mereka berpandangan bahwa apabila haji yang ditunaikan hukumnya wajib (haji pertama), dan keadaan saat itu aman, maka seorang Muslimah boleh pergi haji sendirian.

Akan tetapi jika tidak diketahui aman atau tidaknya keadaan, maka wajib baginya disertai suami, muhrim, atau dua orang perempuan atau lebih. Seandainya ia tidak mendapatkan seorang laki-laki yang bersedia menjadi muhrimnya, kecuali harus diberi upah, sedangkan syarat-syarat wajib haji yang lain telah terpenuhi, maka kalau Muslimah itu mampu membayar upah, wajib hukumnya melakukan haji.

Akan tetapi jika yang ada hanya seorang teman perempuan saja, maka tidak wajib baginya menunaikan haji. Lain halnya jika yang ditunaikan adalah haji sunnah, maka wajib baginya disertai suami atau muhrim. Meskipun ia disertai dua orang wanita atau lebih, tetap saja yang bersangkutan tidak boleh menunaikan haji.

Mengenai ragam pendapat ulama Mazhab Syafi'i ini, Al-Hafizh Ibnu Hajar menggaris bahawi, Pendapat yang masyhur di kalangan ulama Mazhab Syafi'i adalah, hajinya seorang wanita disyaratkan adanya suami, muhrim, atau wanita-wanita yang terpercaya.

Sedangkan ulama dari Mazhab Hanbali secara tegas mewajibkan adanya suami atau muhrim. Karena, menurut ulama mazhab ini, hal itu merupakan syarat istitho'ah (kemampuan) wanita melaksanakan haji. Imam Ahmad bin Hanbal berkata, Kalau seorang wanita tidak ada suami atau muhrimnya, maka ibadah haji tidak wajib atasnya.

Pendapat tersebut didasarkan pada hadis Nabi SAW, Tidak halal bagi seorang perempuan yang beriman kepada Allah dan hari akhir bepergian selama tiga hari atau lebih, kecuali bersama ayahnya atau suaminya atau anaknya atau saudaranya atau muhrimnya. (Muttafaq 'Alaihi).

Setelah melihat pendapat ulama dari empat mazhab itu, tampaklah letak perbedaan pandangan mereka tentang masalah ini. Ada yang berpendapat berdasarkan makna lahiriyah dari hadis, yaitu mewajibkan adanya muhrim bagi wanita yang berhaji; ada yang memberikan pengecualian bagi wanita yang bersama wanita-wanita lain yang dapat dipercaya; bahkan ada yang berpandangan tidak diwajibkan adanya suami ataupun muhrim jika dalam keadaan aman.

Menurut Syekh Yusuf al-Qaradhawi, prinsip hukum atau ketetapan adanya muhrim haji bukan untuk membatasi kebebasan Muslimah dalam melakukan ibadah. Tetapi, hal itu dimaksudkan untuk menjaga nama baik dan kehormatannya. Di samping juga untuk melindunginya dari maksud jahat dari orang-orang yang hatinya berpenyakit.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement