REPUBLIKA.CO.ID, Bagi para Anker (anak kereta) Bogor atau Bekasi ke Jakarta Kota, Monas, dan Masjid Istiqlal jadi pemandangan biasa. Naik ke Monas, Anda bisa lakukan dengan relatif mudah. Naik ke menara Masjid Istiqlal, itu lain cerita.
Untuk mencapai puncak menara Istiqlal di ketinggian sekitar 96 meter, Anda harus menaiki tangga. Manual. Ah, baiknya Anda googling dulu gambar ganggang hijau Spirogyra agar mudah mendapat gambaran. Seperti itu lah kiranya struktur dalam menara Istiqlal. Tangga tersusun berputar dengan menyisakan rongga di tengah.
Afriyogi, relawan dari Indorope yang turut membersihkan menara Masjid Istiqlal nampak bernapas normal dari tangga awal hingga puncak menara Istiqlal. Sementara saya harus mengatur napas dan menyeka keringat mengikuti Yogi dari belakang menaiki menara Istiqlal pada Senin (20/2). "Ada 40 putaran dari bawah ke atas," kata Yogi sambil terus menaiki anak tangga yang seolah tak ada habisnya.
Beberapa bagian dinding menara tampak sudah bersih. Warna keabuan yang ternyata kerak, sudah sebagian besar dibersihkan. Bila melihat dari dalam KRL yang melintasi Masjid Istiqlal, para Anker mungkin menyadari perbedaan warna menara Istiqlal yang kini nampak berwarna krem dari sebelumnya keabuan.
Terima kasih kepada para relawan yang dalam Milad ke-39 Masjid Istiqlal suka dan rela membersihkan menara dan kisi-kisi masjid negara itu. Sebab, membersihkan menara masjid yang diresmikan pada 22 Februari 1978 itu bukan urusan sepele. "Keraknya nggak bisa dibersihkan pakai sikat. Akhirnya pakai mesin polisher," kata Yogi.
Sampai di puncak menara, ember-ember, kantong sarung tangan katun, lap, dan sekantung buah menyambut. Ada pula botol-botol semprot aneka ukuran di satu sisi. Tali-tali masih terpasang untuk para relawan menggelantung bekerja membersihkan menara.
Langit-langit puncak menara yang terbuat dari alumunium harus dibersihkan dengan pembersih khusus karena tidak bisa hanya dibersihkan biasa. Ada cairan kimia khusus untuk itu.
Yogi dan rekan-rekannya sudah membersihkan bagian luar menara. Tentu, itu pun harus cekatan dan segera karena kalau hujan, mereka tidak bisa kerja di luar. Ini berkaitan dengan keselamatan kerja.
Tak banyak pekerjaan tersisa di puncak menara karena pembersihan sudah mencapai 90 persen. Tim dari Indorope akan mengecek hasil akhir dengan drone.
Lengser memang lebih ringan. Tak ada kesulitan berarti saat kami turun dan melewati beberapa relawan yang masih menggosok dinding dalam menara menggunakan polisher.
Setelah melepas helm dan melepas sepatu--ini merupakan aturan standar keselamatan kerja--saya mengisi daftar 'pengunjung' lokasi pembersihan. Ada relawan dari Indorope lainnya di dekat pintu masuk menara, Agus Waluyo, yang menghampiri kami.
Agus menceritakan, awal survei turun dari atas ke bawah menara, tim relawan pikir yang mengotori menaera hanya debu tebal, bisa dibersihkan cepat. Empat hari selesai. Semua yang terjadi luar perkiraannya, baik cuaca maupun intensitas pembersihan menara. "Tapi dilap, digosok sikat tidak hilang. Ada semacam stalaknit gitu," kata Agus.
Kerak didinding menara awalnya debu. Tapi karena Istiqlal dikelilingi jalan, ada asap dan polusi, mengeraklah debunya.
Selama pembersihan Masjid Istiqlal sejak 10 Februari hingga 21 Februari, alat pelindung diri (APD) yang dipakai para relawan berstandar industri, bukan untuk olahraga. Yang melakukan pembersihan menara juga harus punya sertifikat kerja di ketinggian. Tim Keselamatan Kerja dari Depnaker setempat juga sempat datang mengecek.
Kemungkinan semua praktik pembersihan ini, kata Agus, akan berlanjut sebagai bagian perawatan. Bila sudah dibersihkan dan kotorannya dibiarkan mengkerak lagi, lama lagi pembersihannya nanti. Maka lebih baik dibersihkan rutin.
Sebelum naik ke menara, saya sempat menemui Koordinator Relawan Bersih-Bersih Masjid Istiqlal Setyo Ramadi. Setyo menuturkan, selain menara, kisi-kisi masjid juga dibersihkan. Awalnya pikir pikir satu hari bisa satu orang yang mengejakan.
"Ternyata, lama. Setelah praktik, satu hari itu nggak selesai bersihkan satu kotak itu. Butuh keterampilan sendiri. Terpikir bakal lama. Tapi nggak apa-apa, selalu akan ada jalan keluar untuk hal-hal seperti itu," kata Setyo.
Selain tenaga profesional pekerja ketinggian, mayoritas relawan bersih-bersih Masjid Istiqlal adalah pecinta alam. Kegiatan seperti ini membuat mereka berkumpul kembali, bahkan dengan anak-anak mereka seperti yang dilakukan pada Ahad (19/2).
Saat libur, relawan yang datang bisa 200-250 orang dari 75 organisasi. Tapi rata-rata 50-70 orang per hari. Setyo sengaja tidak mengundang organisasinya tapi personal yang ia kenal, supaya ringkas. "Organisasi memang bisa menggerakkan massa besar, tapi ini kan sukarela, suka dan rela," kata Setyo sambil terkekeh.
Maka baginya, tak masalah orang sedikit. Meski belakangan ia juga tidak sangka jadi ramai.
Mulanya, ia terlibat saat Dirjen Kebudayaan Kemendikbud membuat acara di Istiqlal. Awalnya relawan mau bersihkan kubah, tapi kubah sudah dibersihkan. "Tengok-tengok, menara nih. Saya mikirnya itu, bersih-bersih. Saya nggak bisa kerjain yang lain," kata Setyo.
Hanya saja, ia tidak mau dibayar, tidak mau ada anggaran. Semua perlengkapan dari sumbangan. Ia memandang, pemerintah suka menunggu anggaran dan masyarakat suka menunggu bantuan. Kalau tidak ada anggaran, kegiatan tidak jalan.
"Lebih baik, kerjain saja. Kalau ada yang mau ikut, ayo. Saya menolak itu (anggaran). Ini juga membuktikan kegiatan tetap jalan," kata Setyo.