REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bebagai isu keagamaan yang sedang berkembang di Indonesia menjadi ketertarikan tersendiri bagi editor budaya dari Far Eastern Economic Review, Margaret Scott. Untuk mengetahui kondisi keagamaan di Indonesia, ia pun mendatangi Kementerian Agama RI, Senin (20/2). Menag Lukman Hakim Saifuddin pun mengajarinya tentang syariat Islam di Indonesia.
Margaret Scott adalah editor yang telah banyak menulis tentang Indonesia untuk The New York Review. Margaret yang juga masih aktif mengajar di NYU Wagner School of Public Service juga menanyakan mengenai adanya keinginan sebagian umat Islam untuk menegakkan syariat Islam di Indonesia.
Ia juga menanyakan pendapat Menag mengenai kecenderungan umat Islam yang memegang teguh paham bahwa pada tempat yang mayoritas penduduknya muslim, maka pemimpinnya juga harus muslim. Sedangkan, menurutnya, pandangan tersebut bukanlah pandangan Islam yang moderat.
Menanggapi hal ini, Lukman menjelaskan, bahwa syariat itu multi-makna dan sangat luas spektrumnya. Menurutnya, ada tiga tataran penerapan nilai-nilai syariat dalam konteks Indonesia.
Pertama, nilai-nilai syariat yang dimaknai sebagai ajaran universal yang diakui dan diterima siapa saja, terlepas apa agama, suku bangsa, dan etnisnya. Termasuk dalam kategori ini adalah nilai keadilan, dan penghormatan terhadap hak azasi manusia.
Kedua, nilai-nilai syariat yang kebenarannya hanya diakui umat Islam secara keseluruhan. Umat yang tidak beragama Islam, belum tentu mengakui kebenaran nilai ini. Misalnya larangan berzina, minum-minuman keras, berjudi, dan lainnya.
Ketiga, nilai-nilai syariat yang diyakini kebenarannya hanya oleh sekelompok umat Islam saja. Jangankan umat beragama lain, ada umat Islam lain yang belum tentu menerima kebenaran yang diyakini dan dianggap syariat kelompok tersebut.
Lukman menegaskan, bahwa pemerintah Indonesia menerapkan syariat pada kategori pertama, bukan ketiga. Sebab, pemerintah tidak akan masuk kepada wilayah-wilayah yang pada internal umat beragama saja sudah terjadi perbedaan.
Sedangkan kategori kedua yang diyakini oleh umat Islam Indonesia secara keseluruhan, tapi belum tentu diyakini umat beragama lain. Itu sangat tergantung bagaimana penerapannya dalam konteks demokrasi di Indonesia di mana regulasi dan undang-undang dibuat bersama antara pemerintah dengan parlemen. Penerapan kategori kedua ini, hanya dimungkinkan ketika sesuai dengan mekanisme demokrasi yang dianut di Indonesia.
"Tentu mayoritas umat Islam yang moderat akan tetap menjaga dan memelihara nilai-nilai agama Islam yang bisa mengayomi semua, karena nilai Islam itu tidak hanya untuk umat Islam tapi untuk semua (rahmatan lil alamin)," ujar Menag. Ia menekankan tidak boleh ada nilai yang diterapkan yang justru menimbulkan keresahan di dalam masyarakat.