REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Cerita mistis seputar tokoh-tokoh yang berjasa dalam pembangunan Masjid Ampel cukup menarik minat para peziarah dari seantero Nusantara. Pada peringatan hari-hari besar Islam, jumlah peziarah di Masjid Sunan Ampel mencapai 15 ribu hingga 20 ribu orang. Tokoh mistis dan Masjid Ampel tidak dapat dipisahkan. Masing-masing memberikan ajaran moral dan religius bagi masyarakat luas.
Bentuk bangunan dan arsitektur masjid tidak hanya menyimpan nilai sejarah, tetapi juga mengandung pesan keagamaan yang dalam dan harus diungkap sebagai pengetahuan bagi masyarakat umum.
Atap masjid berbentuk tajuk, piramida bersusun tiga, mengadopsi arsitektur Majapahit. Tajuk dalam tradisi Jawa merepresentasikan gunung yang diyakini sebagai tempat suci. Tidak diragukan lagi, atap bersusun tiga adalah elemen arsitektur Hindu-Jawa. Akan tetapi, nilai-nilai di balik bentuk atap tersebut kental dengan ajaran Islam. Tiga tingkat dimaknai sebagai Islam, iman, dan ihsan.
Dengan demikian, tiga tingkatan merefleksikan kesempurnaan keislaman seorang Muslim. Islam, iman, dan ihsan adalah inti dari ajaran agama yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Untuk menjadi seorang Muslim sejati, seseorang harus melaksanakan rukun Islam yang ada lima, mengimani rukun iman yang berjumlah enam, dan mampu mengaplikasikan konsep ihsan, yaitu totalitas ibadah dan berserah diri kepada Allah. Simbolisasi ihsan dengan atap tertinggi disebabkan ihsan menempatkan seorang hamba begitu dekat dengan Tuhannya.
Susunan tiga atap ditopang oleh empat pilar utama yang terbuat dari kayu jati, masing-masing berukuran 17x0,4x0,4 meter tanpa sambungan. Secara keseluruhan, tiang di dalam Masjid Sunan Ampel berjumlah 16 dengan ketinggian yang sama, 17 meter. Angka 17 menunjukkan jumlah rakaat shalat dalam sehari.
Dalam sebuah hadis dikatakan, shalat adalah tiang agama. Tinggi tiang di sini tidak lain merupakan simbolisasi ajaran hadis yang menekankan pentingnya shalat dalam kehidupan orang Muslim. Hingga sekarang, tiang-tiang itu masih berdiri kokoh meskipun telah berumur kurang lebih 600 tahun.
Elemen lainnya yang masih dipertahankan keasliannya adalah 48 pintu di sekeliling tembok masjid. Lebar kesemuanya 1,5 meter dan tinggi dua meter. Bentuk lengkungan di atas tiap-tiap pintu menunjukkan pengaruh dari arsitektur Arab. Arsitektur Jawa tidak mengenal pola lengkungan seperti itu. Antara pintu dan pola-pola lengkung di atasnya dihiasi ukir-ukiran tembus yang mirip dengan kipas.
Detail arsitektur masjid ini menampilkan bagaimana Islam pada periode awal di kawasan Majapahit, mengakomodasi khazanah budaya Jawa untuk kepentingan dakwah. Nilai-nilai luhur Islam diakulturasikan dengan pola bangunan Jawa yang bersumber dari kosmologi masyarakat setempat. Jadilah bentuk bangunan yang tidak hanya menampilkan kecantikan fisik, tetapi juga kedalaman spiritual.
Sejak tahun 1972, kawasan Masjid Agung Sunan Ampel telah ditetapkan sebagai tempat wisata religi oleh Pemkot Surabaya. Lokasinya di Jalan Ampel Nomor 53, Kelurahan Ampel, Kecamatan Semampir, Kota Surabaya. Perluasan pertama kali dilakukan oleh Adipati Aryo Cokronegoro dengan menambahkan bangunan pada bagian utara masjid.
Kemudian, pada tahun 1926, oleh Adipati Regent Raden Aryo Nitiadiningrat seluas 22,70x20,55 meter. Pada 1954, kembali dilakukan perluasan oleh KH Manaf Murtadho seluas 25,70x50 meter. Saat ini, luas area Masjid Sunan Ampel kira-kira 4.000 meter persegi.