REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perjalanan melintasi Jalur Sutra ternyata ikut mengembangkan teknologi bepergian. Pada abad pertengahan, caravan yang ditarik kuda atau unta jadi moda transportasi standar para pelintas.
Caravanserai kemudian dikenal sebagai wisma tinggal sementara bagi para pengelana dan pedagang. Tempat singgah ini berperan penting memfasilitasi kelancaran lalu lintas manusia di sepanjang Jalur Sutra.
Caravanserai kemudian tak hanya jadi tempat menginap dan makan para pedagang di Jalur Sutra, tapi juga jadi ruang perkenalan dan bincang-bincang para pedagang dari berbagai tempat. Bagi mereka, caravanserai juga jadi tempat menjalin kesepakatan usaha, bertukar ide, dan obrolan budaya.
Karena Jalur Sutera makin penting untuk berbagai urusan, caravanserai juga makin banyak bermunculan terutama di Asia Tengah pada abad 10 hingga setidaknya abad 19. Tak heran, rupa-rupa caravanserai bisa ditemukan mulai dari Cina hingga India, dari Turki hingga Rusia, dari Afrika Utara hingga Eropa.
Idealnya, caravanserai terletak dalam jarak sehari perjalanan sehingga mereka yang bepergian untuk berdagang tetap aman saat malam datang. Secara rata-rata, letak antar-caravanserai berjarak antara 30-40 kilometer di area yang terkelola baik.
Kenyamanan caravanserai tentu sukar ditemui bagi mereka yang memilih melintasi Jalur Sutra melalui laut. Namun, pengembangan teknologi pelayaran dan pengembangan perkapalan membuat perjalanan laut makin aman.
Pelabuhan-pelabuhan di wilayah pesisir bermunculan tak hanya untuk memfasilitasi bongkar muat barang, tapi juga memudahkan para awak kapal mengisi logistik, terutama air tawar.