REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Salman lahir di Kampung Jayy, wilayah Ashbahan, Persia. Penduduknya memeluk agama Majusi. Ayah Salman adalah pemuka kampung tersebut. Salman merupakan anak semata wayang.
Karena itu, sang ayah begitu mencintainya. Sampai-sampai, Salman hidup dalam pengawasan yang cukup ketat. Dalam arti, ia tak diperkenankan beranjak jauh atau lama-lama dari rumahnya. Sehari-hari, Salman bertugas sebagai pelayan api, yakni menjaga agar jangan sampai nyala api padam sehingga mengganggu peribadatan Majusi.
Pada suatu hari, karena kesibukannya, sang ayah meminta Salmanmengurus ladang pertanian sementara waktu. Sang ayah berpesan agar Salman segera kembali ke rumah begitu pekerjaan di ladang selesai. Sebagai anak yang baik, Salman mematuhinya.
Namun, dalam perjalanan Salman melewati sebuah gereja milik orang Nasrani. Karena penasaran, Salman pun menghampiri. Alangkah kagetnya ia lantaran belum pernah melihat peribadatan di luar ajaran Majusi. Ini wajar, karena sikap protektif sang ayah begitu membatasi pengetahuan Salman akan dunia sekitar.
Ketika aku melihat mereka, aku benar-benar merasa takjub dengan ibadah yang mereka kerjakan. Dan aku sangat tertarik mengetahui tentang agama mereka, kata Salman sebagaimana diriwayatkan Abdul Hamid as-Suhaibani dalam kitabnya, Shuwar min Siyar ash-Shahabiyyat.
Salman pulang dengan sangat terlambat serta melalaikan tugasnya di ladang. Sang ayah sungguh-sungguh marah, tetapi juga begitu khawatir akan keselamatan jiwa buah hatinya itu. Sesampainya di rumah, Salman menceritakan apa adanya.
Bahkan, ia membanding-bandingkan peribadatan Majusi dengan Nasrani. Akhirnya, sang ayah bersikeras dan menghukum Salman dengan kekangan di kamarnya. Agama itu (Nasrani) jauh lebih baik daripada agama kita, kata Salman kepada ayahnya.