REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Islam mengajarkan kita untuk selalu memelihara mulut dari kata-kata yang dapat menyinggung perasaan orang lain. Bahkan Alquran memberi petunjuk dengan baik tentang cara berkomunikasi melalui mulut.
Pertama, berkata dengan qaulan syadidan (perkataan yang benar dan lurus); kedua, berkata dengan qaulan balighan (perkataan yang menyentuh lubuk hati); dan ketiga, berkata dengan qaulan layyinan (perkataan yang lembut/menyenangkan). Ketiga perkataan tersebut, bila dilaksanakan dengan benar, akan dapat mewujudkan komunikasi yang bebas dari rintangan dan hambatan (efektif).
Bagi kaum sufi, memelihara mulut dengan kata-kata yang benar dan menyenangkan sangat diutamakan. Bagi mereka, diam adalah emas yang dapat menjunjung tinggi martabat daripada kata-kata yang dapat menyia-nyiakan amalnya. Demikian hati-hatinya sang sufi, sehingga Rabi' al-Khaitam — seorang sufi ternama — setiap hendak berbicara ia menyiapkan kertas dan pena untuk menulis dan mengevaluasinya.
Alquran dan Hadis mendorong setiap orang yang hendak berbicara agar mempergunakan daya intelektual dan kematangan emosinya. Janganlah mengikuti apa yang engkau tak mempunyai pengetahuan tentangnya (QS al-Isra' [17]: 36). "Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir," kata Nabi Saw, "berbicaralah dengan baik atau diam" (HR Bukhari Muslim).
Memelihara mulut dengan daya intelek dan kematangan emosi merupakan tindakan terpuji. Itu sebabnya, kaum sufi memelihara mulutnya dengan selalu ingat (zikir) kepada Allah. Dengan cara seperti inilah, kita dapat mempererat tali persaudaraan, dengan menghindarkan diri dari mengatakan julukan/gelar yang menyakitkan orang lain.
Ketidakmampuan kita memelihara mulut dan kata-kata yang kotor, serta julukan yang menyakitkan, tak hanya akan merobohkan martabat yang bersangkutan, tetapi juga bisa membawa api kemarahan yang sanggup merengut nyawa manusia.
"Banyak pemuda", kata Lukman al-Hakim, "yang mati karena terpeleset kata-katanya, tetapi hampir tidak ada yang mati karena terpeleset kakinya." Hadis Nabi: "Muslim yang sejati adalah Muslim yang memberi keselamatan terhadap Muslim lainnya, baik dengan mulut maupun dengan tangannya". (HR Bukhari dan Abu Daud).
Alquran juga melarang keras orang memanggil dengan julukan yang kotor dan menyakitkan (QS al-Hujurat [49]:11). Mengomentari ayat ini, pakar tafsir, Ibnu Jarir menjelaskan, gelar/julukan sebenarnya tidak dilarang, bila julukan itu mengandung sifat terpuji, seperti julukan al-Athiq (pembebas budak) yang diberikan kepada Abu Bakar, al-Faruq (juru pemisah benar dan batil) kepada Umar, Abu Turah (bapak tanah/pemurah hati) kepada Ali, dan julukan Syaifullah (pedang Allah) kepada Khalid bin Walid.
Di zaman modern yang serba rumit dan sensitif dengan aroma kehidupan dan dinamika perpolitikan ini, siapa pun yang sedang berkesempatan menjadi pemimpin publik hendaknya senantiasa berhati-hati menjaga mulut dari kata-kata yang tak sopan dan kasar. Betapa pun hebatnya sang pemimpin mendesain dan merekayasa seabrek program yang dirangkai dengan segala keterampilan spektakuler.
Katakanlah publik serta merta telah mengelu-elukan sang pemimpin sebagai tokoh langka, cerdas, tegas dan berani. Namun kehebatan sang pemimpin menjadi rontok dan sirna manakala ia enggan menjaga martabat mulutnya dari pernyataan-pernyataan kasar lagi menyinggung perasaan banyak orang.