REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jiwa manusia adalah ciptaan Allah SWT. Sebagai pencipta, Zat Yang Maha Kuasa menghendaki jiwa berjalan sesuai aturan yang telah digariskan. Sehingga, pemiliknya bisa sampai pada kondisi yang penuh kebaikan dan ketenteraman, serta mampu menapaki jalan terang-benderang yang di ujungnya terdapat surga sebagai hadiahnya.
Akan tetapi, bangsa manusia tidak hidup sendiri di jagat mahaluas yang berdiameter 4,9 exp 9 pc ini. Manusia hidup bersama bangsa setan yang menjadi musuh abadinya. Setan tidak ingin anak cucu keturunan Adam mendapat 'hadiah istimewa' berupa surga dan meninggalkannya seorang diri di neraka.
Oleh karena itu, setan dan anak cucunya sekuat tenaga berusaha menggoda jiwa manusia untuk mengobarkan nafsu syahwatnya, ditumbuhkan rasa benci berbuat kebaikan, dan akhirnya manusia benar-benar menyerah untuk mempertahankan eksistensinya dalam kehidupan.
An-Nafs fil Qurán merupakan karya tulis ulama Mesir yang juga pernah menjabat sebagai rektor Universitas al-Azhar, Prof Dr Ah mad Umar Hasyim. Dia menjelaskan secara rinci tentang pembagian jiwa manusia menurut Alquran, dileng kapi dengan penafsiran dari berbagai ulama besar.
Uniknya, di buku ini hadir dua ulama besar Mesir di zamannya yang turut serta memberikan kata pengantar, yaitu ulama tafsir Syekh Mutawalli Asy-Sya’rawi dan ulama pergerakan Mesir sekaligus penulis Islam, Syekh Muhammad al-Ghazali rahimahumullah.
Dalam Alquran kata ‘an-nafs’ atau jiwa disebutkan 300 kali dengan berbagai bentuk kalimat dan kata asalnya, misalnya, nafs al-lawwa mah, nafs amarah, nafs muthmainnah, nafs al-mardhiyah, dan nafs radhiyah. Pengetahuan tentang ‘an-nafs’ sendiri akan sangat terpengaruh oleh pernyataan Allah SWT dalam Alquran, “Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah, ‘Ruh itu termasuk urus an Tuhanku, dan tidaklah diberi pengetahuan melainkan sedikit’.” (QS al-Isra: 85).
Maksudnya, permasalahan ruh termasuk dalam hak Allah SWT dan jika ia berkehendak untuk menciptakan sesuatu, cukup mengatakan ‘kun’.