Rabu 08 Feb 2017 17:15 WIB

Ketika Dinasti Buwaihi Kuasai Baghdad

Rep: Yusuf Assidiq/ Red: Agung Sasongko
Ilustrasi kota melingkar Baghdad di abad ke-10.
Foto: ist
Ilustrasi kota melingkar Baghdad di abad ke-10.

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Kota Baghdad dilanda kerusuhan. Dua kekuatan saling berebut pengaruh. Di satu sisi, ada Adhud al-Daulah yang kala itu sebagai penguasa Fars, dan di sisi lain terdapat nama Bakhtiyar, yang tak lain adalah saudara sepupu sendiri.

Bakhtiyar adalah amir di wilayah provinsi Irak. Beberapa lama kemudian, al-Daulah berhasil mengalahkannya. Namun, hal itu mesti dibayar dengan harga mahal berupa rusaknya infrastruktur Baghdad.

Al-Daulah menganggap, penguasaan atas Irak sangat penting untuk mengontrol kekhalifahan di bawah bayang-bayang keamiran Buwaihiyah. Pada awalnya, al-Daulah memperlakukan khalifah al-Tha'i dengan hormat.

Sejak itu, perlahan tapi pasti, kalangan Buwaihi merangkak naik ke posisi tinggi di pemerintahan. Menurut Joel Kraemer, kemunculan dinasti ini didahului oleh periode perpecahan di lingkup Dinasti Abbasiyah, serta meluasnya perpecahan di masyarakat Baghdad.

Begitu diangkat sebagai penguasa Baghdad, al-Daulah langsung memimpin pembangunan Baghdad. Ia berambisi mengembalikan kota 1001 malam ini ke kemegahan sebelumnya.

Istana khalifah diperbaiki dan dilengkapi dengan sarana dan prasarana penunjangnya. Beberapa masjid besar yang hancur direnovasi. Adhud al-Daulah mengeluarkan biaya sangat besar untuk ini. Perbaikan jalan-jalan kota, taman, dan bangunan juga menjadi prioritas.

Warga diberi pinjaman dari kas negara untuk memperbaiki rumah-rumah mereka. Saluran irigasi dibersihkan dan difungsikan kembali agar sektor pertanian kembali menggeliat.

Beberapa jembatan yang terletak di kanal utama, misal Nahr (kanal) Isa, Sharat, dan Khandaq, diperkuat.  Fasilitas sawad atau tempat penampungan air, mendapat perbaikan menyeluruh.

Kontribusi lainnya adalah pembangunan rumah sakit terbesar, yang setelah ia wafat disebut Bimaristan Adhudi. Rumah sakit ini terletak di sisi barat Baghdad di tepi Sungai Tigris.

Proyek raksasa ini membutuhkan sumber daya manusia yang besar. Adhud al-Daulah segera memanggil para insinyur dan teknisi dari berbagai wilayah. Beberapa tahun kemudian pembangunan kembali Baghdad rampung dikerjakan.

Seiring itu tugas tak kalah penting terus diupayakan, yaitu mengembalikan ketertiban. Potensi kerusuhan berhasil diredakan dengan mengendalikan kekuasaan serta administrasi yang efisien,” kata Joel Kraemer lagi.

Masa kekuasaan al-Daulah pun ditandai dengan toleransi pada golongan minoritas. Nashr ibn Harun, salah seorang menterinya, adalah penganut Nasrani. Tak hanya Nashr, banyak lagi pejabat pemerintah yang beragama Nasrani.

(Baca: Dinasti Buwaihi, Pelindung Seni dan Budaya)

(Baca Juga: Dinasti Buwaihi, Pulihkan Ranah Keilmuan Baghdad)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement