REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Abu Amar Utsman bin Sa'id ad-Dani Ad-Dani dalam kitabnya Al-Muhkam fi Nuqth al-Mashahif memulai penjelasannya tentang asal mula munculnya tanda baca dalam Alquran. Ad-Dani merujuk pada sebuah riwayat dari Yahya bin ibnu Abu Katsir. Secara umum, riwayat itu menyebutkan bahwasanya pada awalnya Alquran tidak memiliki tanda baca, baik berupa titik maupun harakat (syakl).
Pertama kali yang dilakukan adalah membedakan antara huruf Ya' dan Ba' dengan meletakkan titik. Hal ini dipandang tidak menjadi masalah, karena justru bisa memperjelas perbedaan antara kedua huruf tersebut. Langkah selanjutnya yang diupayakan adalah memberikan titik di tiap pengujung ayat.
Lalu, dilakukan pula tanda awal dan akhir ayat. Lantas, siapakah yang mengawali membubuhkan tanda baca huruf-huruf Alquran itu?
Menurut ad-Dani, menukil riwayat dari Qatadah, para sahabat dan tabiin pertamalah yang mengawali menuliskan titik. Qatadah berkata, Merekalah. Hal itu membuktikan bahwa sahabat dan tabiin awal yang memulai menuliskan titik pada huruf-huruf Alquran.
Dan, mayoritas bersepakat bahwa tanda titiklah yang ditulis pertama kali, bukan syakl. Dalam analisis ad-Dani, penulisan titik lebih diprioritaskan daripada syakl, menunjukkan fleksibilitas bacaan dan bahasa yang memang secara legal telah diperkenankan untuk digunakan oleh Allah.
Akan tetapi, seiring perkembangan dan dinamika dialek bahasa yang terus berkembang dengan berbagai dampak negatifnya, kebutuhan meletakkan tanda baca baik berupa titik dan syakl tak terelakkan.
Bahkan, menurut ad-Dani, faktor utama yang mendorong para salaf menulis tanda baca itu adalah tingkat kerusakan dialek masyarakat Arab di masa itu akibat persinggungan dengan varian dialek yang cenderung merusak. Apabila gejala ini, termasuk fenomena minimnya para ahli bahasa, tak segera disikapi, dikhawatirkan akan mereduksi makna-makna yang terkandung dalam Alquran.
Penting diketahui, penulisan tanda baca titik yang dilakukan sahabat masih sangat sederhana dan belum sistematis. Aktivitas peletakan titik tampaknya masih sebatas untuk memudahkan membaca. Hal itu terbukti jelas ketika, misalnya, kalangan Madinah beralih menggunakan titik versi Bashrah yang pernah diletakkan oleh Abu al-Aswad ad-Duali.
Menurut ad-Dani, penulisan tanda baca dalam Alquran tak serta merta diterima oleh kalangan salaf. Terdapat sejumlah nama yang kurang sepakat dengan tanda baca itu.
Mereka yang kurang setuju itu, antara lain, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Mas'ud, Qatadah, Ibnu Sirin, dan Malik bin Anas. Banyak argumen yang mereka utarakan, antara lain kekhawatiran yang mendalam apabila penulisan itu berpengaruh negatif pada ayat-ayat Alquran. Karenanya, Abdullah bin Mas'ud menyerukan agar tidak mencantumkan tanda baca apa pun.
(Baca: Al-Muhkam fi Nuqth Al-Mashahif Ungkap Asal Muasal Tanda Baca Alquran)