REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengumpulan atau kodifikasi Alquran telah berlangsung sejak zaman Rasulullah. Setiap menerima wahyu, Muhammad SAW selain membacakannya dan mengajarkannya kepada sahabatnya, juga meminta mereka yang pandai baca dan tulis untuk menuliskan ayat-ayat yang diajarkan tersebut.
Penulisan dilakukan di atas pelepah kurma, lempengan batu, dan kepingan tulang. Para sahabat juga menuliskannya dengan sangat hati-hati dan teliti. Dalam Ensikopedi Islam terbitan PT Ichtiar Baru van Hoeve, diungkapkan, setelah ayat-ayat yang diturunkan cukup untuk satu surah, Rasulullah memberi nama pada surah itu.
Langkah itu untuk membedakan surah bersang kutan dengan surah lainnya. Beliau juga menyampaikan petunjuk mengenai urutan penempatan surah dalam Alquran. Cara pengumpulan seperti di atas berlangsung sampai sampai Alquran sepenuhnya diturunkan selama 23 tahun.
Para sahabat yang menuliskan Alquran di antaranya adalah Abu Bakar as-Siddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abu Thalib, Amir bin Fuhairah, Zaid bin Tsabit, Ubay bin Ka’ab, Muawaiyah bin Abu Sufyan, Zubair bin Awwam, Khalid bin Walid, dan Amr bin Ash. Mereka juga menulis untuk disimpan sendiri.
Saat itu sudah ada banyak tulisan, namun belum disatukan dalam sebuah mushaf atau dijilid dalam satu kesatuan. Setelah Rasulullah wafat dan Abu Bakar terpilih menjadi khalifah pertama, tulisan yang dituliskan pada sejumlah media itu masih tersimpan di rumah Rasulullah.
Hingga kemudian, terjadi peristiwa tragis dalam Perang Yamamah. Saat itu, sebanyak 70 sahabat yang hafal Alquran gugur. Muncul kekhawatiran jika kelak perang berkecamuk, akan banyak lagi sahabat yang hafal Alquran wafat. Akhirnya, Umar menyarankan Khalifah Abu Bakar menyusun tulisan-tulisan Alquran dalam satu mushaf.
Semula Abu Bakar keberatan dengan usulan Umar namun akhirnya sepakat. Beberapa orang ditugasi untuk mengemban amanat ini, yaitu Zaid bin Tsabit sebagai ketua, dibantu Ali bin Thalib, Ubay bin Ka’ab, dan Usman bin Affan. Saat menjalankan tugasnya, Zaid berpedoman pada tulisan di rumah Rasulullah.
Artinya, ia menghimpun surah dan ayat sesuai dengan apa yang telah dilakukan Rasulullah. Ia menuliskannya pada lembaran-lembaran kertas hingga disatukan dalam satu mushaf dan disimpan di rumah Abu Bakar hingga ia mangkat. Waktu Umar menjadi khalifah, mushaf itu selalu dalam pe ngawasannya.
Setelah ia wafat, mushaf disimpan di rumah putri Rasulullah, Hafsah. Ketika Usman memegang tampuk pimpinan, ia membentuk sebuah panitia yang bertugas menyalin mushaf yang ada di rumah Hafsah dan menyeragamkan dialeknya, dikenal de ngan mushaf Usmani. Panitia yang dibentuk Usman membuat lima salinan.
Satu mushaf disimpan di Madinah, yang pada masa berikutnya masyhur sebagai mushaf al-Imam. Empat mushaf lainnya dikirim ke Makkah, Suriah, Basra, dan Kufah. Terkait dengan penerjemahan Alquran, pada awal abad ke-8 cendekiawan Muslim Abu Hanifah mengklaim yang pertama kali membolehkan membaca al-Fatihah dengan bahasa Persia.
Menurut The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World, seiring berjayanya kembali budaya di Iran, pada abad ke-11 dilakukan penerjemahan penuh teks Alquran dari bahasa Arab ke Persia. Pada masa kontemporer, muncul Abdullah Yusuf Ali yang menerjemahkannya ke dalam bahasa Inggris.
Juga ada tokoh reformasi Pakistan, Sayyid Abu al-A’la Maududi yang melakukan penerjemahan ke dalam bahasa Urdu serta cendekiawan Muslim dari Indonesia, Hamka, ke dalam bahasa Indonesia. Ada sejumlah tujuan penerjemahan, yaitu untuk memajukan dakwah dan agar teks teks Alquran dapat dipahami orang yang tak bisa berbahasa Arab. Selain itu, penerjemahan merupakan langkah tandingan terhadap misionaris dan orientalis yang melakukan penerjemahan untuk rezim kolonial.