Senin 30 Jan 2017 08:29 WIB

Indonesia Bisa Diwariskan, Tapi Keindonesiaan tidak!

Anak-anak membawa bendera merah putih di desa pesisir pulau Ndao, Rote, Nusa Tenggara Timur, Kamis (13/8).
Foto: Antara/M Agung Rajasa
Anak-anak membawa bendera merah putih di desa pesisir pulau Ndao, Rote, Nusa Tenggara Timur, Kamis (13/8).

Oleh: Erie Sudewo

Bada Ashar, mentari pun condong ke Barat. Teriknya telah tercecer detik demi detik. Di kebun Sabila Farm, berkerumun dua Said, yakni Said Didu dan Sudirman Said. Juga tampak Ichsan Loleumbah dan Nizar. Ditemani tuan rumah pemilik kebun, Pakde Gun Sutopo. Jadilah pertemuan ini langka.

Mengapa langka? Mereka semua tokoh. Yang mungkin belum banyak dikenal adalah Nizar si anak Banten. Dengan perawakan “anak mamah”, ganteng dan perlente, siapa sangka Nizar jadi salah satu penakluk Himalaya.

Langit biru bersih. Awan putih menggumpal seperti dikuas cat. Angin sepoi menambah exotic suasana. Ini angin lereng Merapi Jogja. Bukan angin bermuatan aroma kali Pesing Grogol Jakarta Barat, Bro. Sambil sruput juice buah naga, alamaaak selangit rasanya.

“Oooh orang itu. Dia cuma penikmat!” kata Said Didu menghenyak.

Yang hadir terkaget-kaget. Memang Said yang Didu ini seperti Dadu. Yang namanya dadu tak lagi perlu diajari berlompatan di atas angka. Amat pandai berkelit dan piawai mainkan kata. Tinggal yang terkena, “gubraaak phing shan” atau angkat kapak perang.

Organisasi manapun punya episode. Ada pendiri, ada perintis, ada pelanjut dan ada pula penikmat. Organisasi yang didirikan orang besar, pasti pendirinya banyak. Jika tak 10, bisa jadi lebih dari 20 orang.

Perintis di organisasi besar jelas haknya. Maka perintis awal pengoperasi lembaga, dipenuhi fasilitas. Sebaliknya organisasi gurem, rasanya cenderung kelam. Yang ada kewajiban. Alih-alih hak, perintis gurem siap-siap jadi korban. Tak heran perintis organisasi kusam paling satu dua orang.

Saat organisasi gurem tak berkembang, perintis otomatis terkambing hitam dilumat zaman. Kejemnya, perintis yang gagal sulit punya kesempatan dan keberanian tampil. Lunglai tak sanggup angkat muka.

Ketika organisasi gurem eksis bahkan berkembang, perintis juga siap-siap terlupakan. Hilang ditelan hiruk pikuk puja puji. Seperti bisnis. Semua terpukau akan hasil akhir. Bukan proses yang seperti tegakkan benang basah.

Menangkan juara penting. Tapi yang lebih penting merawat soliditas tim. Juara dinikmati sesaat. Tapi tim solid dikenang sepanjang masa. Banyak orang keluar masuk lembaga. Tapi berapa banyak yang bisa menjiwai khittah lembaga.

Saat generasi berikut bisa hargai fondasi lembaga, jadilah dia pelanjut. Tim yang solid dirawat. Yang masih bopeng dipermak. Pelanjut sadar, sabiquna awwalun pasti berdarah-darah.

Pelanjut paham. Banyak lembaga yang berkembang karena keliru langkah. Dan ternyata lebih banyak lagi lembaga yang mati karena tak melangkah. Di manapun jamak orang keluar masuk lembaga. Tapi yang terbaik, keluarlah dengan alasan yang tepat. Bukan karena kecewa hingga banting pintu sambil sumpah serapah.

Mengapa muncul kekecewaan, itulah seperti yang dikatakan Said Didu, Sekretaris Menteri BUMN di zamannya, “karena generasi berikut adalah penikmat”. Dia nikmati apapun warisan: "Nama baik, asset, jejaring mitra bisnis dan pelanggan. Tentu saja limpahan materi".

Penikmat tak pernah sadar. Otomatis jadi perusak. Dia terima bersih kebun yang sudah jadi. Seperti indahnya kebun di Sabila Farm ini di lereng Merapi. Buahnya serba ranum. Penikmat jadi perusak, karena dia bawa rekan-rekannya menikmati “kelezatan organisasi yang sudah jadi”.

Rumah tinggal bisa diwariskan, tapi rumah tangga tidak. Lembaga bisa diwariskan, tapi kelembagaan tidak. Indonesia bisa diwariskan, tapi keindonesiaan tidak.

Tiba-tiba terlintas sebuah pepatah: “Ketika engkau menghirup air di telaga, jangan lupa tiga hal. Sumbernya, asal usulnya, dan merawatnya”.

Duuuh. Saya termangu-mangu mendengar celoteh Said Didu.

 

Erie Sudewo, Pendiri Dompet Dhuafa

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement