Sabtu 28 Jan 2017 22:51 WIB

Cita-Cita Menjadi Dai

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Agung Sasongko
Ilustrasi Dialog Jumat Tema: Kisah Dai-Dai di Pedalaman
Foto: Republika/ Yasin Habibi
Ilustrasi Dialog Jumat Tema: Kisah Dai-Dai di Pedalaman

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --  Cindy Miftahul Husna punya cita-cita menjadi dai. Mahasiswi semester enam di Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah (STID) Mohammad Natsir, Cipayung, Jakarta Timur, itu tak ragu meski harus dikirim ke daerah pedalaman. Muslimah asal Tulungagung, Jawa Timur, itu sejak dulu sudah menempuh jenjang pendidikan di lembaga pendidikan berlatar Islam. Mulai ibtidaiah, tsanawiah, aliah di pesantren, hingga akhirnya memutuskan melanjutkan pendidikan tingginya di STID Muhammad Natsir.

Lembaga pendidikan tinggi ini berada di bawah naungan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia. Saban tahun, lembaga ini kerap mengirimkan kadernya untuk menjadi dai. Keinginan Cindy menjadi seorang dai muncul setelah dimotivasi oleh ayahnya. Cindy berkisah, ayahnya pernah mengatakan bahwa di daerahnya masih cukup banyak lahan untuk mensyiarkan Islam kepada masyarakat. Kendalanya, jumlah dainya masih sangat jarang.

"Dari perkataan (Ayah) itu saya terpikir bahwa saya seharusnya punya keterampilan untuk mengajak mereka, baik yang belum mengerti Islam hingga yang sudah mengenal Islam," ungkapnya kepada Republika, Sabtu (21/1).

Cindy pun memilih STID untuk memperoleh kemampuan dan keterampilan berdakwah. "Berawal dari motivasi orang tua hingga akhirnya saya menimba ilmu di sini (STID Mohammad Natsir—Red). Insya Allah kalau besok saya kembali ke rumah, saya bisa mengaplikasikan ilmu yang saya dapat di sini," ujarnya.

Selain pendalaman ilmu agama, Cindy mengaku juga mendapatkan bimbingan tentang tata cara berdakwah di kampus. STID Mohammad Natsir menyiapkan peserta didiknya agar mampu berdakwah di masyarakat nantinya. "Karena itu di sini ada program pengabdian (untuk berdakwah di daerah) selama satu tahun. Saya berpendapat ini program yang bagus karena melalui program ini saya bisa mengeksplorasi dan memaksimalkan ilmu yang saya dapat selama empat tahun," tuturnya.

Bila ditugaskan untuk berdakwah di daerah pedalaman, Cindy mengaku siap. Kendati pasti ada pergolakan batin karena harus tinggal jauh dari keluarga dan keramaian kota, itu tak menyurutkan nyalinya. "Sebab dakwah ini kan memang kewajiban personal yang harus diemban oleh setiap Muslim," ungkap Cindy menegaskan.

Eka Aprila, mahasiswi semester akhir di STID Mohammad Natsir, juga berkeinginan menjadi dai. Perbedaannya, sejak masih anak-anak Eka memang selalu tertarik dengan berbagai hal yang berkaitan dengan ilmu agama. Dari nalurinya itu Eka memutuskan menempuh pendidikan di STID Mohammad Natsir guna mendalami ilmu agama.

Sebagai mahasiswa tingkat akhir, Eka mengaku sudah mencecap sedikit pengalaman berdakwah. Ia mengungkapkan sejak semester tiga STID Mohammad Natsir memang telah menerjunkan peserta didiknya untuk berdakwah di masyarakat.

Ketika di semester tiga, ucap Eka, dia dan mahasiswi lainnya ditugaskan mengajar di taman pendidikan Alquran (TPA) di sekitar Cipayung dan Ciracas. Kemudian di semester lima, ia mulai ditugaskan pula untuk mengisi kajian majelis taklim khusus Muslimah. "Nah, di semester enamnya kita ada kafilah dakwah selama satu bulan. Nanti semua kegiatan kita, mulai dari mengajar TPA, mengisi kajian di majelis taklim ibu-ibu, dan melakukan kafilah dakwah, kita bikin laporan tertulisnya," tuturnya.

Menurut dia, pengalaman-pengalaman demikian sangat diperlukan sebelum nantinya ia terjun untuk melakukan syiar atau dakwah kepada masyarakat. Selain kedalaman ilmu, proses dakwah juga memerlukan kesiapan mental. Eka pun mengaku tidak terlalu khawatir bila nantinya dia harus mengemban amanah untuk berdakwah di daerah terpelosok dan berpisah sejenak dengan sanak keluarganya. "Cepat atau lambat saya juga akan berpisah dengan orang tua atau keluarga," ujar Muslimah asal Bekasi, Jawa Barat, tersebut.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement