REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mungkin, bermula dari iklim di kawasan Timur Tengah yang sinar mentarinya membakar tubuh tanpa ampun ditambah embusan angin gurun yang kering. Semua itu tentu menimbulkan dampak yang menyusahkan bagi kulit manusia, terutama para perempuan pembesar di berbagai kerajaan di wilayah tempat munculnya berbagai peradaban kuno ini, seperti Mesopotamia dan Mesir.
Untuk mengatasinya, seorang ahli kimia kemungkinan mencoba membuat minyak atau salep untuk melindungi kulit. Minyak dan salep itu tentu harus beraroma harum, sejenis aromatik, agar pemakainya merasa nyaman.
Cairan pelulur kulit yang wangi itu tampaknya pernah menjadi kebutuhan vital bagi masyarakat. Dalam penggalian di Mesir, arkeolog pernah menemukan sisa-sisa bekas wadah dan botol pelulur tubuh. Penggalian lebih jauh memberi kesimpulan mengejutkan.
Ternyata, kelangkaan bahan-bahan kosmetika, terutama cairan parfum pelulur kulit, pernah hampir menimbulkan krisis di masa Pemerintahan Firaun Ramses III. Menurut arkeolog, para pekerja di kuburan Theban mogok kerja karena tak adanya pelulur kulit untuk membantu mereka mengatasi ganasnya sengatan matahari.
Masyarakat Timur Tengah kuno rupanya telah mengembangkan kosmetik pelindung tubuh dalam berbagai bentuk, mulai dari krim, tonik, lotion, dan bubuk. Semuanya harus beraroma wangi, mirip dengan parfum masa kini. Namun, tak seperti parfum modern yang rata-rata berbahan dasar alkohol, parfum masa lalu mempunyai aneka ragam bahan, mulai dari lemak hewani atau nabati, oil radish, selada, dan minyak wijen yang kemudian dicampurkan dengan pewangi alami.
Bahan pewangi kuno itu bisa dibuat dari almond pahit, biji anis, melati, mawar, peppermint, kayu teja, bunga heliotrope, akar jahe, pelepah kayu manis, buah sitrus, kayu cedar, dan kayu sandal.
Awal tahun 2700 SM, bangsa Mesir telah menemukan bukan hanya aroma yang menyenangkan, tetapi seni dari parfum. Bangsa ini mengembangkan berbagai teknik untuk mendapatkan wewangian. Teknik yang terkenal adalah melakukan ekstraksi aroma dengan meletakkan bunga atau serpihan kayu beraroma di antara lapisan lemak hewan murni sehingga minyak alaminya keluar.
Minyak yang keluar kemudian dicampur dengan minyak lain atau lemak. Cara lain, memeras bunga dengan bantuan kain sehingga sarinya keluar. Atau, merebus kayu beraroma dan bunga dengan minyak dan air. Minyak yang menggumpal kemudian digunakan.
Cara lain lagi adalah mencelupkan bunga, biji, dan buah ke minyak panas atau lemak. Kemudian, ditemukan teknik yang lebih ampuh, memeras bahan pewangi alami itu dengan meletakkanya pada kain yang kedua ujungnya diikatkan ke dua tongkat. Dengan cara memutar kedua tongkat itu, tekanan puntiran ini akan memaksa keluarnya minyak esensial dari bahan alami tersebut.
Setelah Mesir runtuh, parfum terus menjadi bagian penting masyarakat Timur Tengah selama ribuan tahun kemudian sampai akhirnya muncul kebudayaan Islam. Pada abad pertengahan di Dunia Islam, parfum dianggap sebagai komoditas penting. Parfum terutama digunakan untuk kebersihan pribadi, makanan, dan farmasi.
Parfum yang berharga mahal bisa didapatkan di kawasan timur jauh, seperti Cina dan wilayah sekitar Samudera Hindia. Contoh wewangian yang dianggap berharga adalah aroma musk (misk) dan yang berbahan ambergris (anbar).
Untuk mendapatkan parfum jenis ini tidak mudah karena jarak yang demikian jauh. Distribusi parfum pada abad ke-11 dan 12 menggunakan jalur laut atau melalui darat yang dikenal dengan jalur sutra yang menghubungkan Cina dan India dengan Asia Tengah, Mesopotamia, Mediterania, dan Eropa.