Jumat 27 Jan 2017 06:11 WIB

Duuuh, PANCASILA-ku

Presiden Republik Indonesia Joko Widodo menjadi inspektur upacara saat mengikuti upacara peringatan Hari Kesaktian Pancasila di Monumen Pancasila Sakti, Lubang Buaya, Jakarta, Sabtu (1/10).
Foto: Republika/ Raisan Al Farisi
Presiden Republik Indonesia Joko Widodo menjadi inspektur upacara saat mengikuti upacara peringatan Hari Kesaktian Pancasila di Monumen Pancasila Sakti, Lubang Buaya, Jakarta, Sabtu (1/10).

Oleh Erie Sudewo

Dalam pesawat Semarang Jakarta saya tercenung. Waktu tempuh 50 menit cukup buat redam kecamuk pikiran. Pancasila ramai lagi diusik.

“Apalagi yang elo pikirin, Bro? Heran. Elo tuuuh sok negarawan. Begitu ada soal nyangkut bangsa, elo meradang. Padahal siapa sih yang butuh elo. Pernah ada orang penting atau partai yang ngelamar? Elo cuma Ketua RT, Bro. Itupun bukan karena hebat. Kagak ada yang mau, tauuu!” Nafsu saya nyolot.

Gubraaak. Duuuh, mental saya dibanting. Saya senyum kecut. Cuma apa boleh buat. Mikir doang gak apa kan. Menghidupkan rasa sebagai warga. “Bicara penduduk bicara statistik. Bicara warga negara bicara ideologis”.

Sesungguhnya modal sosial bangsa ini, UUD’45 dan Pancasila. Francis Fukuyama bilang: “Modal social merupakan norma hasil kesepakatan dari setidaknya dua pihak”.

Satu pihak khianat timbul masalah. Belakangan tiada angin tiada badai, Pancasila dipanas-panasi lagi. Tampaknya muncul hero-hero baru penyelamat Pancasila. Padahal, jangan-jangan Pancasila cuma jadi alat. Alat apa? “Cari kambing hitam”.

Usai pramugari sodorkan kotak berisi roti, pikiran saya melongok ke belakang. Pancasila pusaka bangsa, apa memang diideologikan di negeri ini?

Coba longok deh. Dulu ada BP7. Akronimnya keren: Badan Pembina Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila. Tugas BP7, merawat ideologi Pancasila. Caranya dengan adakan penataran P4 (Pedoman Penghayatan Pengamalan Pancasila).

Cuma BP7 akhirnya “bubar jalan”. Tak main-main. Bubarnya sah, Bro. Dengan TAP MPR No XVIII/MPR/1998. Itulah seiring euphoria 1998, apapun yang berbau Orba dijungkal. Termasuk militer yang musti masuk kandang. Polisi?

Lantas. Bolehkah dibilang MPR saat itu “tak pancasilais”? Entah. Bangsa ini memang “aneh bin ojo’ob”. Retorika memukau dimana-mana. Sangking mempesonanya, tak lagi jelas “mana emas mana loyang”. Kebenaran jadi compang camping dengan kepiawaian bicara.

Di UGM muncul gagasan “Ekonomi Pancasila”. Apakah gagasan Mubyarto tentang ekonomi kerakyatan ini disokong penuh? Lawan paham ini tentu “Mafia Berkeley”. Mafia yang sudah merata, hasil dari “Consensus Wahington”.

Nah bicara Ekonomi Pancasila, yang satu ini malah layu sebelum ditanam. Jangan-jangan karena istilah Pancasila berbau Orba, jadi musti habis betul. Yang bersorak, tentu “Mafia Berkeley”. Paham yang terus hidup siapapun rezimnya.

Soegeng Sarjadi juga punya kesan tak pancasilais-nya kita yang berideologi Pancasila. Apa yang dibicarakan oleh tokoh, jauh pula dari nilai Pancasila. Maka Soegeng Sarjadi mengubah silanya jadi… Mohon maaf silakan cari sendiri ya.

Tiba-tiba terdengar suara, pesawat sudah ancang-ancang hendak mendarat. Saya pejamkan mata. Eh koq ya muncul sosok Harry Roesli. Dia juga punya kesan tentang basa-basinya kita pada Pancasila.

Saya coba merangkai-rangkai lagu Pancasila yang diplesetkan Harry Roesli semasa hidup. Liriknya, mohon maaf lagi. Silakan lacak sendiri Tuan dan Puan.

Saya turun dari pesawat. Dalam hiruk pikuk penumpang, saya merasa asing. Sendiri dalam keramaian. Sambil berjalan saya berpikir.

Ngeri membayangkan kisruh negeri ini. Otomatis itu jadi pendidikan politik generasi berikut. Kita tersuguhi sandiwara, hoax, dan fitnah: “Pancasila pun jadi alat cari kambing hitam”. Siapa tumbalnya? Sedang yang paling untung, siapa lagi jika bukan pengusaha dan pedagang. Wallahu’alam

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement