REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hamil di luar nikah masih menjadi faktor penyebab pernikahan dini. Di Indramayu, Jawa Barat, misalnya. Ada 459 dispensasi nikah yang diajukan. Pengadilan Agama setempat mengungkapkan, pengajuan yang berasal dari remaja berusia kurang dari 16 tahun tersebut mayoritas disebabkan pernikahan dini. Begitu juga di daerah lain. Di Kabupaten Bantul, Pusat Studi Wanita Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) melansir, pencetus pernikahan dini umumnya karena faktor hamil di luar nikah.
Lantas, bagaimana Islam menilai tentang pernikahan dengan perempuan yang dalam kondisi hamil? Majelis Tarjih Muhammadiyah mengungkapkan, ada dua pendapat ulama tentang masalah ini. Pendapat yang membolehkan dan pendapat yang mengharamkan. Pendapat pertama menjelaskan, tidak ada dalil di dalam Alquran dan hadis yang menyampaikan bahwa perempuan hamil tak boleh dinikahi.
Perempuan yang haram dinikahi oleh lelaki tercantum pada QS an- Nisa ayat 22-23. Mereka tak boleh dinikahi karena masih dalam satu nasab dan saudara sepersusuan. Di surah berbeda, Allah SWT menambahkan faktor lainnya. Pertama adalah perempuan musyrik (al-Baqarah: 221 dan an-Nur: 3), perempuan yang dalam masa idah sedang dia masih mengalami masa haid (al-Baqarah: 228), perempuan yang telah ditalak tiga kali oleh suaminya diharamkan untuk dikawini bekas suaminya. Kecuali, dia sudah kawin dengan laki-laki lain kemudian bercerai dan habis idahnya (al-Baqarah: 235), perempuan yang tidak mempunyai masa haid lagi dan perempuan dalam masa idah karena hamil (at-Thalaq:4), mengawini wanita sebagai istri kelima (an-Nisa:3).
Pada ayat-ayat itu memang tidak ditemukan pelarangan untuk menikahi perempuan hamil yang tidak memiliki suami. Karena itu, ada ulama yang berpendapat bahwa menikahi wanita hamil tanpa suami boleh dilakukan asal lengkap rukun-rukun dan syarat-syaratnya.
Pendapat berikutnya, yakni perempuan hamil tidak boleh dikawini kecuali oleh lelaki si penyebab kehamilannya atau bekas suaminya. Bila seorang istri yang masih mengalami masa haid ditalak suami, hendaknya ia menunggu tiga kali quru' (suci dari haid). Selama masa idah itu, ia tidak boleh kawin dengan laki-laki lain. (al-Baqarah: 228). Selanjutnya, ayat ini menerangkan hikmah larangan tersebut. Diketahui dengan jelas apakah bekas istri itu dalam keadaan hamil. Bekas suami boleh rujuk dalam masa idah ini jika menghendaki islah.
Dalam QS ath-Thalaq ayat 4, Allah SWT pun menjelaskan,"..Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu idah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya..."
Menetapkan hukum perkawinan wanita hamil dengan laki-laki penyebab kehamilannya dapat dilakukan dengan qias. Yakni mengqiaskan kepada perkawinan (rujuk) bekas suami dengan bekas istri yang sedang hamil dan dalam masa idah. Lelaki yang menghamili perempuan dapat disamakan dengan lelaki yang rujuk dalam keadaan hamil. Perempuan yang hamil dapat disamakan dengan wanita yang dalam masa idah karena hamil. Pun sperma dari lelaki yang menyebabkan kehamilannya. Faraj kedua perempuan itu adalah tempat menyemaikan benih dari kedua lelaki itu. Faraj perempuan yang sedang ditaburi benih seorang lelaki tidak boleh ditaburi benih laki-laki lain.
"Diriwayatkan dari Ruwaifi ibn Tsabit al-Anshariy, ia berkata: Aku pernah bersama Nabi SAW pada perang Hunain. Rasulullah berdiri di antara kami dan berpidato: Dilarang seseorang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat menumpahkan airnya (maninya) di atas kebun orang lain.." (HR. Ahmad).
Ustaz Ahmad Sarwat dari Rumah Fiqih Indonesia menjelaskan, sebagian kecil ulama ada yang berpendapat untuk mengharamkan tindakan menikahi wanita yang pernah dizinainya sendiri. Paling tidak tercatat ada Aisyah, Ali bin Abi Thalib, Al-Barra' dan Ibnu Mas'ud radhiyallahu 'anhum ajmain. Mereka mengatakan, seorang laki-laki yang menzinai wanita maka dia diharamkan untuk menikahinya. Begitu juga seorang wanita yang pernah berzina dengan laki-laki lain, maka dia diharamkan untuk dinikahi oleh laki-laki yang baik (bukan pezina).
Bahkan, Ali bin Abi Thalib mengatakan, bila seorang istri berzina, maka wajiblah pasangan itu diceraikan. Begitu juga, bila yang berzina adalah pihak suami. Tentu saja dalil mereka adalah zahir ayat yang kami sebutkan di atas (aN-Nur: 3). Selain itu mereka juga berdalil dengan hadis dayyuts, yaitu orang yang tidak punya rasa cemburu bila istrinya serong dan tetap menjadikannya sebagai istri. Dari Ammar bin Yasir, Rasulullah SAW bersabda, "Tidak akan masuk surga suami yang dayyuts." (HR Abu Daud).
Sedangkan, pendapat yang pertengahan adalah pendapat Imam Ahmad bin Hanbal. Imam Ahmad mengharamkan seseorang menikah dengan wanita yang masih suka berzina dan belum bertaubat. Kalaupun mereka menikah, nikahnya tidak sah. Namun, bila wanita itu sudah berhenti dari dosanya dan bertaubat, tidak ada larangan untuk menikahinya. Dan, bila mereka menikah, maka nikahnya sah secara syar'i.