Senin 16 Jan 2017 20:14 WIB

Muslim AS di Tangan Presiden Islamofobia

Rep: Fira Nursya'bani/ Red: Ilham
Muslim Amerika (ilustrasi)
Foto: AP
Presiden AS terpilih, Donald Trump

Diperkirakan sekitar delapan juta umat Muslim tinggal di New York dan Michigan. New York dan Michigan dikenal dengan keberagamannya yang besar, tidak hanya mengenai agama, tetapi juga etnis dan identitas lainnya. Di luar pusat kota, seperti di Los Angeles dan Detroit, Muslim secara luas tersebar dalam jumlah yang relatif kecil.

Akbar Ahmed, ketua studi Islam di American University mengatakan, Muslim AS sedang mengalami krisis kepemimpinan. Fragmentasi agama yang dibawa Trump sangat rawan meningkatkan lonjakan permusuhan.

Namun, Andre Carson, salah satu dari dua Muslim di Kongres AS, mengatakan, saat ini umat Muslim yang mulai terlibat dalam politik berjumlah lebih besar dari sebelumnya. Baginya, kecemasan itu harus bisa dilawan umat Muslim dengan maju ke ranah politik dan menjadi pejabat publik.

"Semua harapan tidak hilang. Tetapi jika kita tidak menjadi sesuatu mereka tidak akan berani melakukan apapun yang mereka inginkan," kata Carson, dikutip The Guardian.

Politikus Demokrat, termasuk Senator Massachusetts Elizabeth Warren, senator Vermont Bernie Sanders, dan senator Nevada Harry Reid telah meminta Trump menghentikan retorika kebencian terhadap Muslim. Namun, tampaknya Trump mengabaikan saran mereka.

Selain serentetan pelecehan yang telah dilaporkan di seluruh AS, ada kemungkinan pemerintahan Trump akan melakukan pengawasan terhadap komunitas Muslim. Sejak 9/11, Muslim Amerika harus berurusan dengan berbagai ancaman, dimulai dari penangkapan massal saat serangan teror di New York dan Washington, skema pendaftaran bagi Muslim yang bukan warga negara AS melalui sistem NSEERS, hingga pengawasan New York Police Department (NYPD) terhadap masjid-masjid di New York dan New Jersey.

Muslim AS kini bertanya-tanya, apa lagi yang akan mereka hadapi berikutnya. "Ada semacam kecemasan mengenai apa yang akan pemerintah lakukan selanjutnya. Amerika telah terbangun dari emosi yang bermasalah dengan Muslim selama 15 tahun," ujar Moustafa Bayoumi, kolumnis The Guardian.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement