REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebagai regulator, Kementerian Agama (Kemenag) coba mendongkrak pendidikan Islam yang memiliki tulang punggung yakni madrasah dan pesantren. Untuk madrasah, Kemenag membuat empat fokus yakni madrasah reguler, madrasah akademik, madrasah keagamaan khusus tafaqquh fiddin yang lulusannya sengaja diproyeksikan untuk mendalami ilmu agama, dan madrasah vokasi yang memfasilitasi pendidikan kejuruan.
Ma'had Aly, sebagai bentuk dari tafakuh fiddin di pesantren salafiyah, disahkan pada pertengahan tahun lalu, bertepatan dengan wisuda ke-3 Mahasantri Ma'had Aly Hasyim Asyari Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur.
Pemberian SK ini sekaligus mengesahkan dan meresmikan pengakuan negara terhadap 13 Ma'had Aly tersebut. Pengakuan ini pun diperkuat dengan adanya Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 17/2015 tentang Penyelenggaraan Ma'Had Aly, yang ditandatangani oleh Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin.
Kemenag mengembangkan Ma'had Aly yang saat ini jumlahnya 13 pesantren. Tiap Ma'had Aly mengembangkan program studi spesialisasi. Ma'had Aly adalah satuan pendidikan yang didirikan dan dikembangkan oleh masyarakat pesantren, serta biasanya berada di dalam kompleks pesantren tersebut. Dengan pengakuan dari negara, maka Ma'had Aly sudah dipastikan memiliki legalitas di dalam sistem pendidikan nasional. Selain itu, Ma'had Aly juga sudah dianggap setara dengan lembaga pendidikan tinggi agama dan lembaga pendidikan tinggi umum.
Menteri Agama mencontohkan Ma'had Aly di Wajo, Sulawesi Selatan. Lembaga ini mengembangkan tafsir karena para gurunya mendalami tafsir. Ma'had Aly di Pati, Jawa Tengah, mengembangkan usul fikih karena didirikan Kiai Sahal Mahfudz yang ahli pada bidang itu. "Kader ulama perlu ditangani serius karena tuntutannya makin tinggi. Ulama kita juga dituntut untuk paham aneka ilmu karena masalah umat makin kompleks,'' kata Lukman kepada Tim Redaksi Republika yang bersilaturahim ke Kemenag di Kantor Kemenag, Jakarta, beberapa waktu lalu.
Untuk melengkapi, Kemenag memberi akses aplikasi iSantri, sehingga para santri mudah mengakses ratusan kitab. Dari pengalaman mondok, Lukman mengatakan, untuk memiliki Kitab Munjid bagi santri zaman dulu harus menabung, dan mempunyai Munjid adalah kebanggaan. Dengan ponsel pintar dan aplikasi iSantri, kitab-kitab jadi mudah diakses.
"Karena kami khawatir, ada kitab yang tidak disentuh. Pesantren kini berkembang demikian beragam. Tapi itu tidak dilarang karena pesantren kan merespons tuntutan masyarakat, tapi jangan lupakan tulang punggungnya. Ini cara kami melayani lembaga pendidikan keagamaan,'' tutur Lukman.
Melalui Peraturan Menteri Agama tentang mu'addalah (kesamaan), Kemenag berharap bila selama ini lulusan pesantren salafiyah tidak diakui, maka setelahnya bisa diakui. Karena itu, jika dahulu lulusan pesantren sulit masuk universitas dan UIN, maka setelah penyetaraan S1 ini diharapkan bisa mudah melanjutkan pendidikan.
Lukman menjelaskan, Kemenag tidak memiliki target kuantitatif, tapi pada kualitas bahwa Kemenag tetap harus punya jaminan pesantren akan menghasilkan spesifikasi bidang keilmuan. Ma'had Aly juga sarana lain selain yang dikembangkan UIN atau IAIN.