Ahad 15 Jan 2017 23:22 WIB

3 Langkah Teladan Sahabat Klarifikasi Berita Bohong

Rep: A Syalaby Ichsan/ Red: Agung Sasongko
Warga menerima penjelasan tentang ciri-ciri konten 'hoax' (berita bohong) saat Deklarasi Masyarakat Surabaya Anti Hoax digelar di Surabaya, Jawa Timur, Minggu (8/1).
Foto: Antara/Didik Suhartono
Warga menerima penjelasan tentang ciri-ciri konten 'hoax' (berita bohong) saat Deklarasi Masyarakat Surabaya Anti Hoax digelar di Surabaya, Jawa Timur, Minggu (8/1).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam tafsir Fizilalil Quran, Said Quthb menjelaskan, dalam ayat itu  Allah fokus kepada orang fasik karena dicurigai sebagai sumber kebohongan. Berita yang disampaikan jangan sampai menyebar di kalangan kaum Muslimin karena adanya satu individu yang menodai informasi.

Beberapa riwayat dari para mufasir menyebutkan, turunnya al-Hujurat ayat 6 karena seorang lelaki yang diutus Rasulullah SAW tidak menyampaikan kabar benar. Al Walid bin Uqbah bin Abi Bu'ith, nama pria itu, diutus Nabi untuk mengumpulkan zakat dari bani al-Musthaliq.

Meski telah menemui bani al-Mushtaliq dengan zakat yang dikumpulkan, al-Walid kembali kepada Rasulullah dengan kabar buruk. Al Walid berkata, "Bani Musthaliq telah berkumpul untuk memerangimu (Rasulullah).(Dalam riwayat lain disebutkan bahwa al-Walid menambahkan dengan mereka keluar dari agama Islam)."

Rasulullah pun mengutus Khalid ibnu Walid untuk menemui bani Mushtaliq. Nabi menyuruh Khalid untuk berhati-hati dan tidak tergesa-gesa. Khalid lantas berangkat dan baru tiba pada malam hari. Dia menyebarkan mata-mata di tempat Bani Mushtaliq. Mata-mata itu pun melapor kepada Khalid dan mengatakan, mereka adalah orang-orang yang tetap memegang teguh Islam. Mata-mata itu masih mendengar azan dan bacaan shalat mereka.

Keesokan harinya, Khalid menemui mereka. Khalid pun terkesan atas sikap Bani Mushtaliq. Pedang Allah itu lalu kembali kepada Rasulullah seraya menyampaikan berita sebenarnya. Allah lantas menurunkan ayat ke-6 surah al-Hujurat. Diriwayatkan dari Qatadah, Rasulullah lalu berkata kehati-hatian datang dari Allah, sedangkan ketergesa-gesaan dari setan.

Said Quthb menjelaskan, riwayat itu tak hanya disampaikan ulama salaf, tetapi dikemukakan juga oleh ulama lain seperti Ibnu Abi Laila, Yazid bin Rahman, Adh-Dhahhak, dan sebagainya. Meski juga ada pendapat sebagian kalangan yang menolak riwayat tersebut karena berpandangan tak mungkin al-Walid yang notabene sahabat Rasulullah menjadi fasik.

Kisah lainnya seputar verifikasi informasi tercantum dalam Shahih al-Bukhari. Diceritakan bahwa Umar ibn Khattab pernah memarahi Hisyam ibn Hakim yang membaca Surah al-Furqan dengan bacaan berbeda dari yang diajarkan Rasulullah SAW kepada Umar. Setelah Hisyam menerangkan, Rasulullah sendiri yang mengajarkan bacaan itu.

Mereka berdua menghadap Rasulullah untuk meminta konfirmasi. Rasulullah membenarkan kedua sahabat beliau itu dan menjelaskan, Alquran memang diturunkan Allah SWT dengan beberapa variasi bacaan.  "Faqra'uu maa tayassara minhu," sabda Rasulullah SAW, "maka bacalah mana yang engkau anggap mudah daripadanya."

Apa yang dilakukan Umar dan Hisyam mendatangi Rasulullah untuk menanyakan langsung kepada sumber pertama disebut juga dengan tabayun alias klarifikasi. Sejumlah pakar tafsir seperti Thabathaba'i dan Ibn 'Asyur menjelaskan, tiga langkah dalam melakukan klarifikasi. Pertama, tatsabbut, yaitu kegiatan penyelidikan dan penelitian untuk menemukan kebenaran atau menemukan kepastian mengenai fakta yang sebenarnya mengenai suatu masalah. Tatsabbut ini merupakan lawan dari sikap tergesa-gesa. Nabi berkata, ''Tatsabbut itu datang dari Allah, sedangkan sikap tergesa-gesa datang dari setan.''

Kedua, tasannud, yaitu penyelidikan dan penelitian mengenai keadaan rangkaian para pembawa berita. Di antara mereka tidak boleh ada orang jahat (fasik). Ibn Katsir menjelaskan, seorang Muslim tidak boleh menerima berita orang jahat. Riwayat dan kesaksian mereka tak boleh dijadikan sebagai dasar penetapan hukum.

Ketiga, kaum Muslim tidak boleh bersikap bodoh, baik bodoh dalam arti tidak tahu, maupun bodoh dalam arti bertindak kasar di luar koridor hukum. Ini berarti, kaum Muslim perlu mengkaji dan meneliti kebenaran suatu berita, termasuk memilah dan memilih berita mana yang penting untuk diselidiki. Sebab, jika tidak, kita akan ditimpa kerugian besar lantaran telah membuang-buang waktu dan energi karena provokasi dari orang-orang jahat. Wallahualam.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement