Ahad 15 Jan 2017 23:15 WIB

Cara Islam Menangkal Berita Hoax

Rep: A Syalaby Ichsan/ Red: Agung Sasongko
 Masyarakat dan pengiat media sosial saat mengelar kegiatan sosialisasi sekaligus deklarasi masyarakat anti hoax di Jakarta,Ahad (8/1).
Foto: Republika/Prayogi
Masyarakat dan pengiat media sosial saat mengelar kegiatan sosialisasi sekaligus deklarasi masyarakat anti hoax di Jakarta,Ahad (8/1).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --  Berita bohong di era digital kini mencapai puncak kejayaannya. Berita yang lazim disebut hoax itu kerap tersebar di grup media sosial dari Facebook, Instagram hingga Whatsapp.

Pada musim liburan lalu misalnya. Jembatan Cisomang di Tol Cipularang yang memang dinyatakan mengalami pergeseran beberapa sentimeter menuai kekhawatiran dari masyarakat. Lampu kuning dari warga semakin menyala saat beredarnya sebuah foto yang memperlihatkan jembatan itu sudah tidak rata. Kaki penampangnya pun tampak miring. Foto itu pun menjadikan sebagian warga panik. Padahal, meski jembatan bergeser, tetapi fisiknya belum berubah. Tidak ada kemiringan di kaki jembatan.

Korban hoax memang tidak pandang bulu. Pejabat hingga kaum intelektual bisa dengan mudah meneruskan dan membagikan berita yang tidak terverifikasi itu. Lantas, menjadi mafhum jika penelitian  Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) menunjukkan orang bergelar doktor dan profesor ternyata ikut menjadi korban berita-berita bohong tersebut.

Orang beriman selayaknya mengklarifikasi berita yang sampai. Islam  sebenarnya memiliki doktrin yang ketat untuk menghindari hoax. Lihat saja bagaimana para perawi hadis disanadkan. Mereka harus memenuhi syarat tertentu untuk disebut kredibel sebagai perawi. Sampai-sampai, jika perawi itu diketahui pernah berbohong meski di luar konteks hadis itu, hadisnya akan ditinggalkan. Begitu juga dengan perilakunya yang harus sesuai dengan sunah.

Allah SWT sampai-sampai menyuruh kepada kaum mukminin untuk meneliti dan mengonfirmasi berita yang datang kepadanya. Khususnya ketika berita itu datang dari orang fasik. "Wahai orang- orang yang beriman, jika ada seorang fasik datang kepada kalian dengan membawa suatu berita penting, maka tabayunlah (telitilah dulu), agar jangan sampai kalian menimpakan suatu bahaya pada suatu kaum atas dasar kebodohan, kemudian akhirnya kalian menjadi menyesal atas perlakuan kalian." (al-Hujurat :6).

Ditinjau dari segi bahasa, Quraish Shihab dalam tafsir al-Mishbah menjelaskan, kata fasiq diambil dari kata fasaqa. Kata itu biasa digunakan untuk melukiskan buah yang telah rusak atau terlalu matang sehingga terkelupas kulitnya.  Ini menjadi kias dari seorang yang durhaka karena keluar dari koridor agama akibat melakukan dosa besar atau sering kali melakukan dosa kecil. 

Quraish Shihab  menjelaskan, ayat ini merupakan salah satu ketetapan agama dalam kehidupan sosial.  Kehidupan manusia dan interaksinya harus didasarkan pada hal-hal yang diketahui dan jelas. Karena itu, dia membutuhkan pihak lain yang jujur dan berintegritas untuk menyampaikan hal-hal yang benar. Berita yang sampai pun harus disaring. Jangan sampai seseorang melangkah tidak dengan jelas atau dalam bahasa ayat di atas, yakni bi jahalah alias tidak tahu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement