REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejarah astrolabe bermula lebih dari dua ribu tahun yang lalu. Namun, instrumen astronomi yang berguna untuk menentukan lokasi dan memperkirakan posisi matahari, bulan, planet, serta bintang ini mengalami penyempurnaan di dunia Islam.
Para astronom Muslim memperluas kegunaan astrolabe tersebut. Salah satunya, astrolabe digunakan oleh para astronom Muslim untuk menentukan arah kiblat. Lalu, instrumen ini diperkenalkan ke Eropa pada masa pemerintahan Islam di Spanyol, yaitu abad ke-12.
Astrolabe ini menjadi salah satu instrumen astronomi utama hingga masa modern ini. Emily Winterburn, ilmuwan dari Centre for the History of Science, Technology, adn Medicine, Imperial College, London, Inggris, mengungkapkan, ada catatan mengenai astrolabe di dunia Islam.
Menurut Winterburn, penggunaan astrolabe di dunia Islam diketahui melalui tulisan salah satu astronom Muslim ternama asal Isfahan, Iran, Abd al-Rahman al-Sufi, yang hidup pada abad ke-10. Al-Sufi menggambarkan lebih dari 1.000 penggunaan astrolabe.
Di Barat, al-Sufi lebih dikenal dengan nama Azophi. Bahkan, namanya disematkan pada sebuah kawah di bulan sebagai penghormatan atas kontribusi besarnya di bidang astronomi. Dalam tulisannya, ia menyebut astrolabe sebagai instrumen penting dalam astronomi dan astrologi.
Astrolabe ini merupakan instrumen yang sangat beragam. Operasi fundamentalnya pun memiliki banyak variasi yang bermunculan seiring perkembangan dan penyempurnaan astrolabe. Semua operasinya menggunakan hubungan antara gerakan nyata bintang-bintang.
Yaitu, bintang yang terlihat dari garis lintang tertentu di bumi dan pada waktu tertentu. Dengan memanfaatkan astrolabe ini, para astronom kemudian mampu menentukan waktu berdasarkan posisi matahari dan bintang-bintang.