REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gelisah dan resah kerap menyelimuti hari-hari Lam Fuk Tjong. Harta dan kebutuhan duniawi lainnya yang lebih dari cukup ternyata belum bisa memberinya ketenangan jiwa. Batinnya tetap tak tenteram. Di usia 20 tahun itu, ia seakan tengah berada dalam proses pencarian jati diri seutuhnya.
Pencarian ketenangan hidup membawanya melanglang buana ke berbagai negara. Lam Fuk Tjong sengaja mendatangi negara-negara yang dikenal punya ritual kuat. Berkat bantuan rekannya, tahun 1980-an, ia berhasil menembus sampai ke Cina, Negeri Tirai Bambu, yang masa-masa itu disebutnya tidak mudah dikunjungi. Ia pun menyinggahi Hongkong, bahkan sampai menginjakkan kaki di Vatikan.
Penjelajahan ke berbagai negeri belum juga memberinya ketenangan. "Ternyata, saya tidak menemukan sesuatu. Saya balik ke Bangkok juga tidak menemukan sesuatu yang dapat menenangkan saya," kata pria kelahiran Tanjung Enin, Sumatra Selatan, 17 Juni 1958, ini mengenang masa lalunya saat ditemui di kediamannya di Teluk Betung, Bandar Lampung, pekan lalu.
Lam Fuk Tjong akhirnya memutuskan pulang ke Lampung. Ia kembali mengisi hari-harinya dengan menggeluti salon dan kecantikan, pekerjaan yang dilakoninya sejak remaja.
Sampai pada sebuah kesempatan, ia menemui Didit, rekan seprofesinya. Didit memberinya buku bimbingan shalat. Setelah membacanya, Lam Fuk Tjong merasa takjub dengan kalimat Laa illaha illallah (tiada Tuhan selain Allah) yang ada di buku itu. "Apa maksud kalimat pendek ini?" ia bertanya.
Didit lalu berkata, "Kalau kamu ingin mempelajari buku itu, saya panggilkan guru saya."