REPUBLIKA.CO.ID, BUCHAREST -- Secara mengejutkan, partai politik terbesar di Rumania menunjuk seorang wanita untuk menjadi Perdana Menteri, Rabu (22/12). Ia adalah Sevil Shhaideh, tokoh kurang dikenali yang telah menjabat sebagai Menteri Pembangunan Daerah selama enam bulan.
Jika disetujui oleh Presiden dan Parlemen, maka ia akan menjadi Muslim dan wanita pertama yang menjabat sebagai Perdana Menteri. "Ini adalah pilihan yang mengejutkan. Memilih Shhaideh menunjukkan bahwa Liviu Dragnea akan mengontrol pemerintah tanpa mengambil tanggung jawab langsung. Shhaideh ia tidak memiliki noda, sehingga Iohannis tidak memiliki alasan untuk menolak dia," ujar seorang profesor ilmu politik di Babes-Bolyai University di Cluj, Sergiu Miscoiu, dikutip New York Times.
Liviu Dragne merupakan pemimpin Partai Sosial Demokrat yang meraih kemenangan gemilang dalam pemilihan umum pada 11 Desember lalu, dengan lebih dari 45 persen suara. Bersama dengan koalisinya yang lebih kecil, Aliansi Liberal dan Demokrat, mereka memegang mayoritas kursi di Parlemen.
Biasanya, pemimpin dari partai terbesar di Rumania akan ditunjuk oleh Presiden untuk menjadi Perdana Menteri. Namun, pemimpin Partai Sosial Demokrat, Liviu Dragnea, saat ini tengah tersangkut masalah hukum.
Dragnea dihukum karena diduga melakukan kecurangan dalam pemilu. Ia diberi hukuman percobaan selama dua tahun pada April lalu. Presiden Klaus Iohannis mengatakan, Perdana Menteri Rumania selanjutnya harus terbebas dari jeratan pidana dan penyelidikan kasus. Partai Sosial Demokrat kemudian memilih Sevil Shhaideh (52 tahun).
Menurut Profesor Miscoiu, pilihan Shhaideh mungkin juga dilakukan untuk menangkis tuduhan orthodoksisme dan nasionalisme selama kampanye Partai Sosial Demokrat. "Partai Sosial Demokrat seolah berkata secara implisit: Anda menuduh kami sebagai nasionalis dan ortodoksis? Lihat apa yang kami lakukan, tidakkah Anda menyukainya?" kata Miscoiu.
Pencalonan Shhaideh juga membuat banyak pengamat terkejut. "Kami telah melihat banyak nama yang diajukan pada hari-hari terakhir, tapi namanya tidak di antara mereka," kata Paul Ivan, seorang analis kebijakan senior di Pusat Kebijakan Eropa di Brussels, yang juga seorang mantan diplomat Rumania.