Ahad 11 Dec 2016 08:28 WIB

'Pesantren Jadi Dinamisator Pembangunan'

Rep: ahmad baraas/ Red: Damanhuri Zuhri
Santri pondok pesantren (ilustrasi)
Foto: Republika/ Wihdan
Santri pondok pesantren (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, TABANAN -- Lembaga pendidikan Islam atau pondok pesantren diharapkan mampu menjadi dinamisator pembangunan. Lebih dari itu, pesantren diharapkan dapat berperan sebagai pusat peradaban yang dapat menyadarkan orang tua, serta masyarakat suatu bangsa.

"Pesantren harus dapat menghimpun potensi dan semua energi, mengikat semua orang dan menggerakkanya," kata Guru Besar UIN Jakarta, Prof Dr H Asep Usman Ismail. Hal itu dikemukakan Asep di Tabanan, Bali, Jumat (9/12) sore, dalam Seminar Nasional Revolusi Mental dalam Perspekif Pondok Pesantren.

Kegiatan yang berlangsung di Pondok Pesantren Bali Bina Insani, juga menghadirkan Rektor Univ Ibnu Khaldun Bogor Prof Dr H Ending Bahruddin dan Dr H Pipit Ahmad Rifai Hasan PhD Ketua Program Studi Islam di Universitas Paramadina Jakarta.

Kegiatan seminar nasional, itu serangkaian dengan kunjungan peserta Bali Demokrasi Forum (BDF) ke Pondok Pesantren Bali Bina Insani (BBI). Seminar dilangsungkan sore hari, selepas peserta BDF meninggalkan Pondok Pesantren.  BBI yang dikelola Yayasan La Royba, menjadi model bagi kerukunan dan toleransi antar ummat di Pulau Bali dan mendapat kehormatan untuk dikunjungi peserta BDF.

Menurut Asep, pondok pesantren, selain berfungsi sebagai lembaga pendidikan, baik formal maupun non formal, juga sebagai lembaga dakwah, dan juga lembaga sosial. Dalam hal sebagai lembaga sosial, pondok pesantren tidak bisa lepas dari masyarakat sekitarnya.

"Pondok pesantren dengan masyarakat itu seperti ikan dengan air. Kalau tidak ada masyarakat sebagai airnya, ikan tidak bisa hidup. Pesantren tidak bisa eksis," kata Asep Usman Ismail menjelaskan.

Namu dari semua fungsinya itu, sebut Asep, pondok pesantren harus menjadi pusat peradaban, sebagai dinamisator. Itu katanya, kalau pimpinan dan pengelola pondok pesantren mau berbuat. "Kalau tidak mau berbuat, ya pondok pesantren hanya akan menjadi seuatu yang tidak mati, tetapi juga tidak hidup," katanya.

Mengutip Zamaksyari Dhofir dalam bukunya Tradisi Pesantren, Asep mengatakan, lembaga pendidikan bisa dikatakan pesantren jika ada kiyainya, ada santrinya, ada asrama, masjid dan pengajaran kitab-kitab kuning. Bila syarat-syarat itu terpeuhi dan dapat difungsikan dengan baik, maka pesantren akan menjadi penggerak revolusi

mental. "Karena mereka yang dibina di pesantren, baik lewat fungsi pedidikan dan fungsi sosialnya, akan takut untuk berbuat curang, takut berbuat korupsi," katanya.

Sementara itu, Ending Bahrudin mengemukakan, Islam mengenal tazkiatun nafs. Kendati bermakna pembersihan, tetapi bisa juga dimaknai dengan pembangunan jiwa. Itu

katanya, sesuai dengan hadis Nabi, tentang penyucian hati. "Jadi pembersihan hati, itu juga adalah membangun hati. Sebagai penggerak, membangun hati bisa sebagai awal dari revolusi mental," katanya.

Ending mengemukakan, pesantren memiliki keunggulan dibandingkan dengan sekolah-sekolah konvensional. Yang paling menonjol adalah kehidupan santri yang bisa bertemu

dengan kiyainya selama 24 jam dan mereka mendapat contoh yang baik dari para gurunya.

Hanya dia menyoroti pondok pesantren moderen yang belakangan banyak bermunculan. Menurut dia pondok pesantren moderen memiliki kelemahan dalam hal mendidik para

santri menjadi santri yang mendiri.

"Di pondok pesantren moderen, anak-anak tidak mencuci sendiri, tidak memasak sendiri, mereka semuanya dilayani. Ini kalau mereka nanti jadi pejabat, mereka minta

dilayani, bukan jadi pelayan masyarakat," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement