Kamis 01 Dec 2016 04:57 WIB

Eksistensi NKRI Itu Warisan Politisi Muslim

Sukarno bersama M Natsir
Foto:
Wapres Mohamad Hatta memeriksa pasukan kehormatan di Linggarjati, Cirebon, 17 November 1946.

Pada 29 Desember 1949, Belanda secara resmi mengakui (Belanda menggunakan istilah menyerahkan) kedaulatan RIS, kecuali Irian Barat. Dalam RIS tergabunglah 16 negara bagian, termasuk negara bagian Republik Indonesia di Yogyakarta. Tinta pengakuan kedaulatan belum lagi kering, pada 4 Januari 1950, DPRD Malang dari Negara Bagian Jawa Timur mengeluarkan resolusi untuk melepaskan diri dari Negara Bagian Jawa Timur dan bergabung dengan Negara Bagian RI di Yogyakarta.

Pada 30 Januari 1950, DPRD Kabupaten Sukabumi di Negara Bagian Pasundan  mengeluarkan resolusi yang sama. Resolusi juga datang dari DPRD Sulawesi Selatan, dan DPRD Jakarta Raya. Selain di empat daerah tersebut, suara-suara yang menghendaki bergabung dengan RI dan pembubaran RIS, terdengar di banyak tempat. Di Negara Bagian Sumatera Timur malah terjadi demonstrasi besar yang menyebabkan polisi harus turun tangan.

Resolusi dan demonstrasi itu, biarpun baik niatnya, dalam pandangan Mohammad Natsir (1908-1993), dapat menyebabkan tergerogotinya eksistensi Indonesia. Natsir berpendapat, diperlukan suasana tenang dan penyelesaian menyeluruh (integral) untuk keluar dari kemelut yang dapat meledakkan sesuatu yang tidak terduga itu.

Sebagai Ketua Fraksi Masyumi di parlemen RIS, Natsir membicarakan masalah itu dengan ketua fraksi paling kiri, Ir. Sakirman dari Partai Komunis Indonesia (PKI); dan dengan ketua fraksi paling kanan, Sahetapy Engel dari Bijeenkomst voor Federale Overleg (BFO = Majelis Permusyawaratan Federal). 

Situasi waktu itu memang cukup panas. Negara Republik Indonesia yang diproklamasikan oleh Sukarno-Hatta, dan menjadi kebanggaan 70 juta rakyat, sejak lahirnya RIS telah merosot derajatnya menjadi negara bagian dengan penduduk sekitar 3 juta di Yogyakarta.

Dari hasil diskusinya, termasuk dengan Sakirman dan Engel, serta dari hasil pengamatannya di lapangan politik selama beberapa bulan berkeliling Tanah Air, Natsir menyimpulkan dua hal:

Pertama: Para kepala negara-negara bagian dan tokoh-tokohnya tidak dapat menerima pembubaran negaranya, untuk alasan apapun. Mereka berpendapat, mereka mempunyai status yang sama dengan RI di Yogya, sebagai negara bagian yang menurut Konstitusi RIS adalah negara federal, dan

Kedua: Perundingan tersulit terjadi di Yogyakarta. Di sana masih banyak yang berkeinginan kembali ke negara kesatuan sesuai dengan Proklamasi. Orang-orang RI di Yogya yang merasa sebagai perintis dan modal perjuangan, merasa heran jika mereka harus membubarkan diri bersama-sama dengan BFO ciptaan van Mook.

Natsir mengajukan dua pilihan kepada tokoh-tokoh RI di Yogya. Pertama, memerangi semua negara bagian sampai mereka menyerah dan bersedia membentuk negara kesatuan. Kedua, meminta negara-negara bagian itu untuk bersama kita sendiri membubarkan diri dan mendirikan kembali negara kesatuan.

Berkat pendekatan Natsir yang arif, Mosi Integral dapat diterima, dan proses kembali ke NKRI berlangsung mulus dalam suasana damai. Tidak ada setetes darah pun yang ditumpahkan, dan tidak ada seorang pun yang merasa dipermalukan. Lagi pula, ketika berbicara di parlemen,  Natsir tidak merasa perlu bicara soal federalisme atau unitarisme. Bagi  Natsir, mereka yang menyokong Mosi Integral tidak perlu disebut unitaris. Dan mereka yang menolak Mosi Integral pun tidak perlu disebut federalis. Karena persoalan yang terletak di hadapan kita, kata Natsir, tidak ada hubungannya dengan bentuk struktur negara federalis atau unitaris, melainkan bagaimana kita menginventarisir hasil perjuangan bersama guna kepentingan bersama pula di masa depan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement