REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Indonesia (PSIK) dan Direktur Eksekutif Reform Institute Yudi Latif mengatakan, perbedaan-perbedaan di dalam masyarakat sangat berpotensi untuk dipolitisasi sehingga menimbulkan ketegangan. Karena itu, Yudi menyarankan, agar ke depannya masyarakat dan negara dapat menerima perbedaan-perbedaan yang ada. Salah satunya yakni dengan membangun dialog dan komunikasi antar pemuka agama sehingga tercipta harmonisasi dan toleransi bermasyarakat.
"Antarpengikut agama sendiri harus ada proses dialog yang intens. Contohnya, di suatu tempat, pendirian gereja itu bermasalah, di tempat lain pendirian gereja itu justru dilindungi komunitas Muslim. Di mana letak masalahnya? Bangun gereja harus bangun komunikasi dialog, itu biasanya jauh lebih damai," kata Yudi dalam dialog 'Pilkada dan Tantangan Merawat Kebhinekaan' di kantor Lembaga Administrasi Negara (LAN), Jakarta, Kamis (24/11).
Selain itu, Yudi menilai, masalah dasar kesenjangan sosial yang harus dipenuhi oleh pemerintah juga dapat menimbulkan ketegangan bermasyarakat. Masalah ini, kata dia, merupakan masalah utama yang harus diselesaikan oleh pemerintah sehingga tercipta kesejahteraan yang merata.
Jakarta, menurut Yudi, merupakan daerah di mana tingkat kesenjangan sosialnya tinggi. Untuk mengatasi kondisi itu, ia pun menyarankan agar tak ada pembangunan kawasan perumahan yang hanya diperuntukan untuk ras dan agama tertentu.
"Misalnya kita harus punya prinsip pembangunan di DKI yang tidak boleh membiarkan rumah-rumah itu eksklusif hanya boleh ras dan agama tertentu. Karena kalau itu terjadi, itu justru akan menyulut prasangka," kata dia.