Jumat 11 Nov 2016 14:17 WIB

Ketika Budayawan Bicara Soal Penghinaan Agama

Rep: Hasanul Rizqa/ Red: Agus Yulianto
Peserta aksAksi demonstrasi umat Islam terkait pernyataan kontoversi Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok.
Foto: Republika/Edi Yusuf
Peserta aksAksi demonstrasi umat Islam terkait pernyataan kontoversi Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kasus perangai gubernur nonaktif, Basuki Tjahaja Purnama, yang melukai perasaan umat Islam kini menjadi perhatian nasional. MUI sudah meminta pemerintah untuk tegas menyikapinya. Namun, bagaimana bila soal demikian dipandang dari segi kebudayaan Islam?

Almarhum Kuntowijoyo dikenal luas sebagai sejarawan UGM yang cerdas dan bersahaja. Jejak-jejak pemikirannya untuk umat Islam tersebar di banyak tulisan. Dalam sebuah artikelnya, Pak Kunto—demikian panggilan akrabnya—mencatat bahwa penghinaan terhadap simbol-simbol Islam telah terjadi di Tanah Air setidaknya sejak awal abad ke-20.

“Dua pada zaman kolonial, tahun 1918 ada kasus Martodarsono yang menerbitkan bahwa Nabi sedang mabuk ketika menerima wahyu—yang melahirkan Comite Tentara Kanjeng Nabi Mohammad—dan pada 1937 ada kasus Soemandari-Soeroto, feminis saat itu, yang mengecam Nabi karena perkawinan poligami,” tulis Kuntowijoyo dalam artikel “Penghinaan, Pengadilan, dan Ghirah”, termuat di 'Muslim Tanpa Masjid' (2001).

Era Orde Baru pun, pernah muncul kasus cerpen 'Langit Makin Mendung', yang menggambarkan Nabi berubah menjadi seekor burung. Selain itu, kasus 'Monitor' yang meletakkan Nabi di bawah urutan nama Presiden Soeharto sebagai tokoh paling populer.

“Melihat ‘seramnya’ tanggapan orang pada zaman kolonial, kita dapat menyimpulkan bahwa pada zaman Orde Baru, reaksi umat relatif lebih tenang, mudah-mudahan karena kesadaran hukum,” kata Kuntowijoyo.

Namun, dia mengamati, ada semangat yang melandasi kemarahan umat Islam. Semangat demikian diistilahkannya sebagai //ghirah//, yang dapat bermakna positif maupun negatif.

Cinta berat sufi kepada Tuhan, misalnya, adalah ghirah yang positif. Adapun benci kelewatan Abu Lahab kepada Nabi, umpamanya, adalah ghirah yang negatif.

Karenanya, Kunto menilai, ghirah yang positif terbukti mampu menghadirkan gerakan signifikan yang melawan ketidakadilan. Hal itu marak terjadi ketika Indonesia dijajah Belanda.

Kunto menulis: “Para haji dan santri tidak akan melakukan pemberontakan petani di Banten pada 1888 kalau tak punya ghirah.

Cut Nyak Dhien tak akan masuk hutan kalau perempuan itu tidak punya ghirah. Kiyai Taman dari Pamekasan tidak akan membeli revolver pada 1918 dan menjalani hukuman dengan rantai di kaki kalau tidak memiliki ghirah.” Bahkan, Hari Pahlawan Nasional pun tak akan pernah ada kalau umat Islam tidak marah. “Ghirah adalah aset nasional,” simpul Kuntowijoyo.

Namun, konteksnya kini berubah. Sebab, Indonesia menjadi negara yang bineka, bukan negara-agama. Menurut dia, umat Islam harus belajar mengendalikan ghirah, meski bukan berarti meniadakannya sama sekali.

Dikotomi sosial—bukan dikotomi agama—antara Islam dan kafir perlu dipertimbangkan kembali. Karena dua kategori tadi melebur menjadi satu identitas: warga negara.

“Rupanya umat harus belajar mengendalikan emosi: cinta tanpa cemburu, menang tanpa mengalahkan, dan berperang tanpa prajurit (menang tanpa ngasorake, nglurug tanpa bala—demikianlah Sosrokartono)” tulisnya.

“Jangan sampai ‘kemenangan kecil’ saja, sebagai konsekuensi dari ghirah, yang hanya merupakan riak di samudra yang luas, dapat menenggelamkan seolah-olah itulah tugas utama. Musuh bersama umat yang memerlukan united front ialah kemiskinan, keterbelakangan, SDM, dan manajemen umat,” papar Kuntowijoyo mengakhiri artikelnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement