REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Masjid Al-Umari, Busra, Suriah memiliki halaman yang dikelilingi tiang-tiang penyangga sudut-sudut lengkungan dinding pembatas ruang utama dengan koridor di sekelilingnya. Koridor tersebut masing-masing berjumlah satu buah di sisi timur dan baratnya. Sementara dua koridor lainnya berada di sebelah selatan dengan ujung yang mengarah ke ruang shalat utama.
Halaman tersebut mulanya digunakan sebagai pasar dan tempat tidur para kafilah yang sedang melakukan perjalanan perdagangan melalui Suriah. Dengan demikian, masjid itu dulunya menjadi semacam rest area, terutama pada momen haji ketika para peziarah melakukan perjalanan menuju Makkah.
(Baca: Masjid Al Umari Dibangun dari Reruntuhan Bangunan Romawi)
Menara persegi yang memperlengkap bangunan Masjid Al-Umari merupakan percontohan awal arsitektur menara Umayyah, namun bagian atasnya menampilkan pengaruh Ayyubiyah. Bentuk menara seperti pada Masjid Al-Umari banyak ditemukan pada masjid-masjid penting peninggalan Umayyah lainnya di Damaskus dan Aleppo (dua kota terbesar di Suriah). Tiang-tiang beraneka ukuran itu di antaranya terbuat dari batuan basal dan marmer. Sebagian dipasang dalam tahap pembangunan awal dan sebagian lainnya pada tahap restorasi.
Di sisi barat terdapat sebuah pintu lain yang menjadi akses menuju ruang utama masjid. Sementara itu, di dinding utara masjid terlihat beberapa bagian yang terbuat dari batuan basal daur ulang diletakkan secara horizontal pada pahatan batu sebagai penguat. Pola konstruksi ini diperkirakan dibuat saat perluasan masjid pada abad ke-13.
(Baca Juga: Tiga Fase Restorasi Masjid Al-Umari)
Hingga saat ini, dinding bagian luar masjid masih terpelihara, menaranya masih utuh, dan beberapa tiang di bagian interiornya masih berdiri. Rencana konstruksinya sebenarnya berbentuk persegi dengan panjang sisi sekitar 34 meter. Namun, dinding-dinding Masjid Al-Umari memiliki panjang yang tidak merata sehingga menghasilkan sudut-sudut yang tidak sama besar.
Kebanyakan tiang koridornya merupakan bentuk klasik dengan motif berbeda-beda di bagian atasnya, yang memperkuat konsep daur ulang pada proses pembangunannya. Tiang-tiang itu diperkirakan diambil dari bangunan teater Romawi yang berada tidak jauh dari lokasi masjid.Tiang-tiang itu berukuran pendek dan tidak biasa. Ketinggiannya tertolong oleh susunan batu yang membentuk tembok melengkung yang menghubungkan tiang-tiang tersebut.
Saat dilakukan penggalian pada jalan utama di sisi utara dan selatan masjid, tersingkap serangkaian lengkungan dari susunan bata yang masih dapat dilihat hingga sekarang. Lengkungan-lengkungan itu diperkirakan sebagai peninggalan sebuah kuil Romawi, dan Masjid Al-Umari dibangun di atas kuil kuno tersebut.
Di bagian interior masjid, tiang-tiang dan lengkungan dinding diatur sedemikian rupa untuk menopang atap dari asbes bergelombang yang menaungi ruangan utama. Atap tersebut dipasang di atas penyangga batu yang berjumlah dua buah di setiap sisi bangunan. Dengan begitu, atap tidak langsung bersinggungan dengan dinding keempat sisi bangunan dan memberikan ruang lapang selebar hampir satu meter yang menjadi akses ventilasi serta cahaya dari luar.
Kombinasi antara tembok antarjendela yang rendah dan tiang yang tinggi, di mana lengkungan besar bertemu dengan lengkungan-lengkungan kecil di kedua sisinya, menjadi salah satu bagian dari desain masjid yang menarik. Di sebelah selatan dan utara koridor terdapat koridor dengan desain serupa namun memiliki lengkungan-lengkungan yang sedikit runcng serta tiang-tiang yang terbuat dari basal.
Sayangnya, koridor di sebelah selatan menghalangi jendela-jendela yang ada di dinding bagian selatan. Sedangkan, koridor di sebelah utara telah runtuh dan hanya menyisakan puing.
Sejak konflik Suriah berkecamuk, bangunan ini tak luput dari hentakan bom. Entah sampai kapan konflik tersebut segera berakhir, namun tak ubahnya nasib warga Suriah, eksistensi Masjid Al-Umari juga membutuhkan kesadaraan umat Islam agar segera menghentikan konflik tersebut.