REPUBLIKA.CO.ID, Meski Islam adalah agama mayoritas di Suriah namun di negara yang dulu termasuk wilayah Syam itu, berkumpul penganut berbagai agama, seperti Islam, Nasrani, Yahudi, Druze, Hindu, Budha, dan sebagainya.
Di negara yang berbatasan dengan Yordania tersebut, kalangan non-Muslim mendapatkan pengakuan dan posisi yang setara. Contohnya, kaum Yahudi yang sudah tinggal selama bertahun-tahun tidak pernah diusik keberadaannya. Mereka hidup dengan damai dan tenang.
Sebab, kaum Yahudi juga memiliki peran dan kontribusi signifikan di masyarakat. Begitu pula umat agama lain. Karena itu, tak pernah sebuah agama memaksakan pemeluk agama lain untuk mengakui dan mengimani agama yang sudah diyakini dengan sepenuh hati. Islam bahkan memberikan penegasan bahwa tidak ada paksaan dalam agama.
Kendati umat Muslim merupakan mayoritas (87 persen) dari total populasi yang mencapai 22 juta jiwa, Suriah bukan merupakan negara Islam. Meski demikian, negara yang bernama lengkap Republik Arab Suriah ini menjamin persamaan hak antarpemeluk agama. Umat non-Muslim berhak membeli tanah atau bangunan untuk dijadikan tempat ibadah.
Sekolah-sekolah memiliki kurikulum pelajaran agama Islam dan non-Islam. Karena itu, kalangan agama mendukung pemerintah yang menerapkan kebijakan toleransi ini. Di negara ini, kelompok agama terbesar dianut Muslim Sunni yang 80 persennya adalah warga Arab Suriah.
Selain itu, terdapat pula etnis Kurdi, Turki, Palestina, dan Kaukasus. Di kota-kota besar, jumlah kaum Sunni mencapai 12 juta jiwa atau 75 persen dari populasi. Tokoh agama tertinggi dijabat oleh seorang Mufti Besar. Karena bukan negara Islam, disini juga tidak diberlakukan hukum Islam. Kalau pun ada, itu hanya diterapkan pada beberapa aspek saja. Misalnya, dalam hal pernikahan.
Sementara itu, sekolah Islam berafiliasi pada empat mazhab, Hanafi, Maliki, Syafii, serta Hanbali. Adapun penganut Syiah tetap memiliki kedekatan dengan kota-kota suci Syiah, semisal Karbala dan Najaf, di Iran. Peran mereka tidak terlampau dominan dalam kancah perpolitikan.
Nasrani merupakan agama terbesar kedua dengan jumlah sekitar delapan persen dari populasi. Kebanyakan mereka tinggal di perkotaan, antara lain, Damaskus, Aleppo, Hamah, dan Latakia. Sedangkan populasi kaum Yahudi tidak lebih dari dua ribu jiwa, sebagian besar mereka menetap di Aleppo.
Komunitas Yahudi telah hadir di negara ini sejak berabad-abad silam. Menengok ke belakang, pada era kekhalifahan, Suriah memiliki peran penting bagi terbangunnya peradaban Islam yang maju. Suriah pernah menjadi pusat pemerintahan dinasti Umayyah. Ibu kota Damaskus menjelma sebagai kota paling berpengaruh di dunia Islam dengan penduduk yang multikultur, multietnis, serta agama.
Tradisi toleransi pun berkembang dan terpelihara hingga berabad-abad kemudian. Pada era kekuasaan Ustmani, kaum non-Muslim disebut dzimmi. Mereka membayar pajak dan sebagai kompensasinya mereka memperoleh hak menerapkan hukum agama masing-masing. Hal ini pada akhirnya mampu menjaga identitas dan otonomi tiap-tiap komunitas agama.
Kebijakan ini berlanjut hingga masa kolonialisme. Bangsa Prancis juga memberikan hak lebih luas bagi kaum Nasrani. Meski demikian, kondisi itu sempat berubah, tepatnya sejak terjadi konflik pada Juni 1967. Beberapa sekolah Nasrani dinasionalisasi, begitu pula sekolah-sekolah Islam swasta.
Karena persitiwa itu, banyak kaum Nasrani memilih bermigrasi ke negara lain. Bagi mereka yang tetap tinggal di Suriah, akan dilindungi dan menyatakan loyalitasnya kepada negara. Momen penting sebagai bukti tingginya tingkat toleransi di negara Timur Tengah ini tampak saat menerima kunjungan resmi Paus Johannes Paulus II pada tahun 2001 silam.
Seluruh umat beragama di Suriah menyambut dengan hangat kedatangan pemimpin umat Nasrani itu. Paus bahkan sempat singgah dan masuk ke dalam masjid besar di Damaskus, yakni Masjid Umayah atau al-Umawi yang dibangun pada masa Umayyah. Tercatat, itulah untuk kali pertama Paus mengunjungi sebuah masjid.