REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -– Fenomena pernikahan dini di Kabupaten Sleman semakin meningkat selama tiga tahun terakhir. Berdasarkan data Pengadilan Agama Sleman, jumlah pasangan menikah dini pada 2014 mencapai 109 kasus, 2015 sebanyak 132, dan pada 2016 sampai bulan September mencapai 79 kasus.
Mulai Januari hingga September tahun ini, jumlah anak laki-laki lebih dari 15 tahun yang menikah dini mencapai 3,22 persen. Sedangkan bagi anak perempuan 62,5 persen.
“Sesuai UU perkawinan nomor 1 tahun 1974 perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai usia 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 tahun,” tutur Ketua Pengadilan Agama (PA) Sleman, Ahmad Mujahidin, Rabu (27/10).
Maka dari itu, seluruh pasangan yang menikah dini pasti mengajukan dispensasi pernikahan terlebih dulu. Pengajuan dispensasi sendiri disampaikan oleh orang tua mempelai. Hal ini dilakukan untuk menjamin kelangsungan pernikahan ana-anak mereka.
Pasalnya, menurut Mujahidin, pasangan yang menikah pada usia dini sangat rentan terhadap berbagai masalah. Di antaranya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan penyakit reproduksi pada perempuan.
Mujahidin menjelaskan, prinsip pematangan calon mempelai dalam pernikahan sangat diperlukan. Termasuk mematangkan sisi rohani dan jasmani. Hal ini dimaksudkan untuk memenuhi tujuan luhur dari perkawinan, yakni melanjutkan hidup dengan sejahtera dan mendapat keturunan yang baik dan sehat.
“Oleh karena itu, sebenarnya perkawinan di bawah umur harus dicegah,” kata Mujahidin menjelaskan. Sebab pada kenyataannya pernikahan dini justeru sering dilatarbelakangi dan menyebabkan tragedi sosial.
Sementara itu, Pakar Kependudukan UGM, Susetiawan menyampaikan, Indonasia termasuk negara dengan persentase pernikahan usia muda tertinggi didunia. Bahkan saat ini Indonesia menempati peringkat ke-37 dalam kategori pernikahan di bawah umur.
“Di ASEAN kita tertinggi kedua setelah Kamboja,” ujar Susetiawan. Ia menyampaikan hal tersebut sebagai sebuah ironi. Karena anak-anak perempuan yang menikah muda sering menghadapi akibat buruk, seperti melahirkan dini, KDRT, gizi buruk, serta gangguan kesehatan seksual dan reproduksi.
Mereka cenderung mengalami kondisi buruk pada seluruh indikator sosial dan ekonomi dibandingkan dengan anak perempuan yang menunda usia perkawinan. Termasuk tingkat pendidikan yang lebih rendah dan tingkat kemiskinan yang lebih tinggi.