Rabu 26 Oct 2016 08:23 WIB

Manuver Ahok, Bara Konflik SARA, dan Ancaman Negara Gagal

 Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (kanan) bersama Wakil Gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat (tengah) menerima roti buaya yang diberikan oleh sejumlah relawan Ahok-Djarot di Balai Kota, Jakarta, Senin (29/8).
Foto:

Namun respons hukum terhadap Ahok yang berbelit makin membuat sebagian kelompok mulai jengah. Terlebih ada beberapa pernyataan dari aparat yang menyatakan calon yang akan maju dalam pemilukada tak bisa diproses hukum. Ada pula perkataan yang menyatakan proses hukum Ahok harus seizin Jokowi.

Sekilas, logika ini benar-benar mencederai akal sehat. Jika logika itu dipakai, seorang calon yang maju pemilukada yang diduga membunuh sekalipun tak bisa diproses hukum. Padahal prinsip 'equality under the law' selalu didengungkan sebagai prinsip hukum universal yang bangsa ini anut.

Di sisi lain, pernyataan itu juga berarti menyimpulkan sejak awal bahwa kasus Ahok dan politik adalah rangkaian yang terkait. Padahal bukti yang tersaji begitu jelas tersebar lewat video. Ini bukannya kasus black campaign politik yang penuh fitnah dan rekayasa. Ini adalah kasus yang nyata di depan mata.

Momen ucapan Ahok pun bukan bertepatan dengan agenda politik, melainkan agenda kerjanya sebagai gubernur. Secara gamblang kasus Ahok ini sangat bisa dicerna logika dan akal sehat manusia. Ini adalah perkataan pejabat publik yang mencederai toleransi dan harmoni beragama.

Padahal sisi yang lain, sudah ada sebuah yurispridensi terkait kasus penistaan sebuah ajaran agama. Adalah seorang ibu di Bali, Rusgiani (44 tahun), yang harus dipenjara 14 bulan karena menghina agama Hindu pada 2012.

Hanya beberapa pekan setelah dilaporkan, Rusgiani langsung ditetapkan sebagai tersangka. Namun untuk Ahok, kasusnya hingga kini belum menunjukkan perkembangan hukum yang berarti.

Karena itu, anggapan yang menyatakan calon Ahok tidak bisa diproses hukum karena sedang mengikuti Pemilukada adalah sebuah ucapan yang berbahaya sekaligus gegabah. Ucapan yang bisa melunturkan kepercayaan sebagian kelompok masyarakat terhadap supremasi hukum di negeri ini.

Jika kemudian sebagian rakyat tak tercaya lagi dengan supremasi hukum, ancaman seperti Somalia terbentang di depan mata. Rakyat jadi berani main hakim sendiri. Tentu hal ini harus kita hindari secara bersama. Hukum harus tetap kita junjung tinggi walau langit runtuh.

Semua pihak pun harus memiliki kepala dingin terkait segala polemik yang terjadi terkait Ahok. Pun halnya aparatur pemerintah yang harus adil dalam menegakkan hukum. Jangan hukum tajam kepada rakyat kecil dan musuh politik.

Di sisi lain, hukum kepada rekan koalisi dan konglomerat jadi begitu tumpul. Jika hal itu yang terjadi maka kemarahan rakyat yang bisa menjadi bayarannya. Tentu kita tak ingin kemarahan rakyat kembali terjadi di negeri ini.

Cukuplah momen 1965 dan 1998 menjadi catatan kelam terakhir yang terjadi di tanah air tercinta. Kita tentu tak ingin Indonesia kembali jatuh menjadi negara gagal. Sebab para pendiri bangsa kita telah mewariskan negara ini dengan sebuah tujuan mulia, yakni 'mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.'

Kata adil yang tentu tak hanya ditujukan bagi konglomerat tapi seluruh rakyat. Adil yang bukan hanya untuk pejabat namun seluruh umat.

Mengakhiri tulisan ini, izinkan saya mengutip pernyataan Thomas Jefferson, "When injustice becomes law, resistance becomes duty."

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement