REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) membedah buku Becoming Muhammadiyah. Chusnul Mar'iyah dihadirkan sebagai salah satu pembicara dan sekaligus salah satu pengisi buku.
Pengamat Politik Universitas Indonesia, Chusnul Mar'iyah, mengungkapkan sejumlah kisah hidupnya yang banyak diwarnai dua ormas Islam terbesar di Indonesia, NU dan Muhammadiyah. Namun, ia mengaku tetap berada di jalur yang memang ia perjuangkan, yaitu keadilan bagi perempuan.
"Dalam konteks itu saya sudah menjalani hidup di keduanya, tapi tetap garis yang saya perjuangkan adalah keadilan gender," kata Chusnul, Rabu (19/10).
Chusnul menuturkan, warna-warni itu sudah dimulai sejak kecil, bahkan mulai pendidikan pertama kali seperti Taman Kanan-Kanak. TK Aisyiyah menjadi labuhan pendidikan pertama Chusnul sebelum melanjutkan ke Pesantren Persatuan Islam 45, yang memang dikenal dekat dengan Nahdlatul Ulama.
Semasa tinggal di Lamongan, ia malah tinggal di tempat Ketua Muslimah NU, Nafisah Sahal Machfudz, dan tentu mengikuti semua tradisi NU di Lamongan. Selanjutnya, saat menimba ilmu di Universitas Indonesia, ia mengikuti satu-satunya organisasi kemahasiswaan Islam yang ada saat itu, HMI.
Sepulang melanjutkan kuliah di Australia, Chusnul diminta orang tuanya untuk membantu Muhammadiyah, tapi tetap bersosialisasi dengan elemen NU. Tidak tanggung-tanggung, namanya pun mencuat usai menjadi salah satu panelis Abdurrahman Wahid (Gus Dur), di stasiun televisi swasta Indonesia (TPI).
"Jadi memang saya punya sosialisasi NU dan Muhammadiyah," ujar Chusnul.