Selasa 18 Oct 2016 16:38 WIB

Kenakan Pakaian Warna-Warni dan Menjuntai, Bolehkah?

Rep: Hafidz Muftisany/ Red: Agung Sasongko
Busana Muslim
Foto: Republika/Yasin Habibi
Busana Muslim

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Perkembangan dunia fashion Muslimah memunculkan beragam corak desain. Pertautan dengan gaya desain modern membuat desain pakaian Muslimah semakin digemari. Tak ayal kini, terutama Muslimah muda, gemar memakai pakaian Muslimah karena bisa tampil modern dan muda.

Pilihan berbagai warna dan kreativitas desain memunculkan jenis gaya berhijab dan berpakaian yang baru. Dengan berbagai gaya desain baru tersebut, adakah batasan-batasan yang harus diperhatikan dalam menggunakan busana Muslimah dengan berbagai corak?

Ada beberapa desain baju Muslimah yang menjuntai hingga tanah. Soal baju yang menjuntai ini Syekh Kami Muhammad 'Uwaidah dalam al-Jami' Fii Fiqhii an-Nisa' mengatakan batasan menjulur pakaian bagi seorang Muslimah adalah sehasta dari mata kaki.

Dalam sebuah hadis dari Abdullah bin Umar RA berkata, Rasulullah SAW bersabda, "Barang siapa menarik (menyeret) pakaiannya karena sombong, niscaya Allah tidak akan memandangnya. Lalu Ummu Salamah bertanya, 'Bagaimana kaum wanita harus membuat ujung pakaiannya?' Rasulullah SAW menjawab, 'Hendaklah mereka menurunkan pakaian mereka sejengkal dari pertengahan betis kaki,' kemudian Ummu Salamah berkata,'Kalau begitu, kaki mereka tetap tampak?' Lalu Beliau SAW berkata, 'Hendaklah mereka menurunkan satu hasta dan tidak boleh melebihinya.'" (HR an-Nasai).

Dikhawatirkan jika terlalu menjuntai ke bawah, pakaian akan terkena najis. Di sisi lain, jika pakaian yang menjuntai ke tanah dikhawatirkan terkena najis, tanah atau debu di jalanan yang ia lalui akan membersihkan najis tersebut.

Seperti hadis dari Ummu Salamah, bahwasanya ada seorang wanita yang berkata kepada Ummu Salamah, "Aku memanjangkan bajuku, lalu aku berjalan di tempat yang kotor," Ummu Salamah menjawab, "Rasulullah SAW pernah bersabda, ujung baju itu akan dibersihkan oleh tanah berikutnya." (HR Ahmad dan Abu Dawud).

Dalam hadis lain, seorang wanita dari Bani Abdul Asyhal pernah bertanya kepada Rasulullah SAW, "Ya Rasulullah, sesungguhnya kami memiliki jalan menuju masjid becek, lalu apa yang harus kami lakukan jika hujan turun?" Beliau SAW mengatakan, "Bukankah setelah jalan tersebut ada jalan yang lebih bersih darinya?" Wanita itu menjawab, "Ya". Kemudian, Nabi SAW berkata, "Yang ini (kotor) dibersihkan yang ini (bersih)." (HR Abu Dawud).

Soal najis pakaian, Sidiq Khan al-Bukhari mengatakan bagian yang terkena najis harus dibersihkan dengan cara mencucinya. Dan, air adalah alat pokok untuk membersihkan serta menyucikan dan tidak ada yang dapat menggantikannya kecuali yang dibenarkan syariat. Salah satunya debu atau tanah seperti hadis di atas.

Terkait dengan ragam corak warna pakaian, beberapa ulama membolehkan wanita memakai pakaian dengan berbagai warna. Perhiasan atau wewangian bagi kaum perempuan adalah sesuatu yang jelas warnanya, tapi tak jelas baunya. Seperti disebutkan dalam hadis, "Wewangian seorang laki-laki adalah yang tidak jelas warnanya, tapi tampak bau harumnya. Sedangkan wewangian perempuan adalah yang warnanya jelas, tapi baunya tidak begitu tampak." (HR. Baihaqi).

Dalam beberapa riwayat, istri nabi dan sahabiyah juga memakai pakaian berwarna merah, hijau, dan kuning. Ummahatul Mukminin Aisyah RA dalam sebuah hadis riwayat Ibnu Abi Syaibah pernah berihram dengan pakaian merah yang dicelup 'ushfur. Pakaian jenis ini berwarna merah polos tanpa garis.

Sementara, pakaian berwarna hitam bermotif garis warna-warni lain juga diperbolehkan dipakai wanita sebagaimana hadis dari Ummi Khalid binti Khalid. Saat itu, Ummi Khalid masih kecil dan dia sudah dipanggil dengan nama kuniyahnya Ummi Khalid. Nabi SAW mendapatkan hadiah sebuah pakaian berwarna hitam berukuran kecil.

Rasulullah SAW bersabda, "Menurut kalian siapa yang paling tepat mendapat pakaian ini?" Para sahabat pun tidak ada yang menjawab. Kemudian beliau bersabda, "Bawa kemari Ummi Khalid." Lalu, Ummi Khalid digendong Nabi SAW kemudian mengenakan pakaian tadi yang berwarna hitam garis hijau atau kuning dan mendoakannya, "Semoga awet...semoga awet. Wahai Ummi Khalid ini pakaian yang cantik." (HR Bukhari).

Sementara itu, menurut pendapat Lajnah Fatwa Kerajaan Arab Saudi yang beranggotkan Syekh Abdul Azis bin Abdullah bin Abdurahman al-Baz, Syekh Abdullah bin Shalih bin Muhammad bin Utsaimin, dan Syekh Abdullah bin Abdurrahman al-Jibrin, wanita dilarang memakai pakaian putih di Arab Saudi. Karena, menurut mereka, di Arab Saudi pakaian putih adalah pakaian yang identik dengan laki-laki. Ulama ifta Arab Saudi ini mengambil hukum jika pakaian perempuan tidak boleh menyerupai pakaian laki-laki.

Warna pakaian yang termasuk perhiasan luar yang tidak boleh ditampakkan juga tergantung adat kebiasaan daerah masing-masing. Jika warna tertentu termasuk tabarruj dan menarik perhatian di sebuah daerah, segolongan ulama melarang wanita memakainya.

Secara umum kaidah pakaian Muslimah yang diperbolehkan menurut Syekh Yusuf Qaradhawi adalah menutup seluruh tubuh selain yang dikecualikan, yaitu muka dan dua tapak tangan. Kemudian, pakaian tidak tipis dan tidak menampakkan bentuk badan, tidak menimbulkan fitnah sekalipun tidak tipis. Terakhir bukan pakaian khusus yang dipakai laki-laki.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement