Selasa 18 Oct 2016 16:22 WIB

Pengelolaan Zakat di Era Sahabat

Rep: Syahruddin el-Fikri/ Red: Agung Sasongko
zakat
zakat

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --  Saat wilayah Islam meluas, Rasul SAW mengutus sahabat-sahabat tepercaya untuk memimpin wilayah tersebut. Misalnya, di Yaman, Nabi Muhammad SAW mengutus Muadz bin Jabal sebagai gubernur.

Mereka diperintahkan untuk menjalankan ajaran Islam sebagaimana termaktub dalam Alquran dan hadis Nabi SAW. Karena itu pula, wilayah-wilayah yang menjadi taklukan kaum Muslim diwajibkan pula mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, dan mematuhi aturan yang berlaku.

Zakat zaman Abu Bakar

Saat menjadi khalifah, Abu Bakar As-Shiddiq menjalankan roda pemerintahan sebagaimana tuntunan Alquran dan sunah Rasulullah SAW. Karena itu, ketika terjadi gejolak, Abu Bakar tak segan-segan menindak pelakunya.

Salah satu persoalan besar yang dihadapinya ketika itu adalah orang-orang yang keluar dari Islam (riddah, murtad) dan orang-orang yang enggan menunaikan zakat. Atas kedua kelompok ini, Abu Bakar pun memerangi mereka.

Sebagaimana banyak diceritakan dalam sirah nabawiyah, seperti juga disebutkan dalam Hayatu Muhammad serta Abu Bakar as-Shiddiq karya Muhammad Husein Haykal, diterangkan bahwa ketika Rasul SAW wafat, banyak orang yang enggan mengeluarkan zakat. Menurut alasan mereka, zakat hanya diwajibkan saat Rasul SAW masih hidup.

Zakat zaman Umar bin Khattab

Umar bin Khattab dikenal sebagai pemimpin yang tegas. Ia mewarisi negara yang jauh lebih aman dan kuat dibandingkan masa Abu Bakar. Karena itu, pada masa Umar, banyak sekali dilakukan inovasi dalam hukum Islam. Termasuk, sistem pengelolaan zakat.

Khalifah Umar bin Khattab mendirikan lembaga baitul mal, suatu lembaga yang mengurusi harta yang dikumpulkan dari orang-orang mampu dan sebagian dari harta rampasan perang (ghanimah). Harta yang dikumpulkan saat itu adalah hasil pertanian, zakat mal, hewan ternak, dan lainnya.

Bahkan, di zaman ini pula, Umar bin Khattab tidak mau lagi memberikan harta zakat kepada salah satu dari delapan golongan (ashnaf), yakni mualaf (orang yang baru masuk Islam). Dalam surah At-Taubah [9] ayat 60, disebutkan bahwa orang yang berhak menerima zakat itu adalah fakir, miskin, ibnu sabil, orang yang berjuang di jalan Allah, orang yang berutang, amil, mualaf, dan orang yang memerdekakan budak.

Umar tidak memberikan zakat kepada mualaf karena ia menilai orang yang masuk Islam saat itu sebagian besar adalah orang yang kaya dan mampu. Di antara mereka itu adalah Suhail bin Amr, Aqra’ bin Habis, dan Muawiyyah bin Abi Sufyan.

Zakat zaman Usman dan Ali

Pada masa pemerintahan Usman bin Affan, dikeluarkan sebuah kebijakan yang pada intinya membolehkan pembayaran zakat harta melalui nilai uang. Artinya, total harta yang dimiliki disetarakan dengan uang, lalu diambil 2,5 persennya. Praktik serupa juga berlaku pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement