Sabtu 15 Oct 2016 08:50 WIB

Pilpres Amerika, Mitos SARA, MUI, dan Pilkada DKI

Ribuan massa unjuk rasa terkait pernyataan Gubernur DKI Jakarta, Basuki 'Ahok' Tjahaja Purnama soal surah Al Maidah ayat 51 bergerak dari Masjid Istiqlal ke Balai Kota DKI, Jumat (14/10).
Foto:
Suharto bersama Sukarno di Istana Bogor,19 juli 1967.

Agak aneh sudah 18 tahun reformasi, masalah agama masih dianggap seolah porno, takut dibicarakan terbuka, dan seolah ingin disembunyikan di bawah permadani.

Padahal membicarakan politik identitas hal yang lazim dan biasa saja dan dibolehkan dalam aturan demokrasi modern.

Justru karena mitos SARA dan lain-lain, percakapan agama berlangsung rada-rada sembunyi, di bawah permukaan.  Ini justru lebih menyusahkan untuk memverifikasi informasi. Justru cara ini lebih membuat agama dibicarakan dengan emosi berlebih.

Masing-masing calon juga belum masuk isu karakter masing- masing.

Mungkinkah Anies, misalnya menyatakan dengan santai, seperti Hillary ke Trump, bahwa Ahok tidak punya kualifikasi memimpin Jakarta yang beragam karena karakternya yang kurang menghormati agama.

Misalnya Anies berkata, jika Ahok kembali terpilih, akan lebih susah mengendalikan Jakarta untuk lebih stabil dan harmoni.

Atau Ahok menyatakan Anies kurang bisa dipercaya. Di Pilpres ia menyatakan ada mafia di balik kelompok Prabowo. Kini ia maju sebagai cagub di era Prabowo. Ia gagal menjadi menteri karena itu diganti di tengah jalan. Mengapa ia berpikir akan berhasil menjadi gubernur?

Hal yang sama dengan  Agus. Ia dikritik soal pengalamannya untuk memimpin kota sebesar Jakarta, misalnya.

Bisakah ketiga kandidat saling mengkritik seperti di atas, namun dalam suasana santai saja?

Namun tetap di akhir Pilkada, tiga tokoh ini saling menghormati dan memuji.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement