REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Dudung Abdul Rohman *)
Siapa yang tak kenal sosok Nabi Muhammad SAW. Namanya sering disebut dan disanjung, baik dalam shalat, berdoa maupun ketika bershalawat. Dialah panutan agung yang menjadi teladan utama dalam kehidupan. Dia telah berhasil membebaskan manusia dari kungkungan peradaban kegelapan jahiliyah menuju peradaban yang tercerahkan dengan cahaya Islam. Inilah misi besar yang diemban oleh Nabi Muhammad SAW ketika diangkat menjadi Nabi dan Rasul terakhir yang diutus di muka bumi. Maka, misi ini, dapat dijalankan dengan baik dan sukses oleh Nabi Muhammad SAW dalam rentang waktu relatif singkat, yakni 23 tahun. Karenanya, Beliau dinobatkan sebagai manusia yang paling suskes dan tokoh perubahan yang paling berpengaruh di dunia sepanjang masa.
Dalam Alquran diungkapkan: Artinya: “Alif, laam raa. (Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji” (QS. Ibrahim [14]:1).
Kehadiran Baginda Nabi Muhammad SAW di dunia ini adalah anugerah terbesar bagi kehidupan manusia. Karena tidak dapat dibayangkan, bagaimana gelap dan kelamnya kehidupan apabila tidak ada cahaya petunjuk dari risalah yang dibawa oleh Beliau. Maka, kehadiran Beliau bagaikan cahaya rembulan yang menerangi kegelapan malam, ataupun ibarat sinar mentari yang menyinari bumi yang memberi energi dan spirit bagi denyut nadi kehidupan.
Ini ditegaskan dalam Alquran: Artinya: “Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata” (QS. Ali-‘Imran [3]:164).
Nabi Muhammad SAW adalah manusia biasa seperti pada umumnya dalam hal naluri, fungsi fisik, dan kebutuhannya. Namun, bukan dalam sifat-sifat dan keagungannya, karena Beliau mendapat bimbingan Allah dan kedudukan istimewai di sisi-Nya. Quraish Shihab (2007:70) melukiskan, “Seperti halnya permata adalah jenis batu yang sama jenisnya dengan batu yang di jalan, tetapi ia memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh batu-batu lain. Dalam bahasa Alquran, yang sama dengan manusia lain adalah basyariyah (unsur jasadiyahnya), bukan pada insaniyah (unsur rohaniyahnya)”.
Dalam Alquran diungkapkan: Artinya: “Katakanlah: ‘Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: ‘Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan Yang Esa’. Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shaleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya" (QS. Al-Kahfi [18]:110).
Pada pribadi Nabi Muhammad SAW terhimpun keagungan sifat-sifat manusia. Beliau memiliki segala sifat terpuji yang dapat dimiliki oleh manusia. Karena itu, sosok Rasulullah SAW menjadi suri teladan ideal bagi siapapun manusia dalam tingkatan dan lapisan masyarakat. Apakah dia sebagai individu maupun anggota masyarakat misalnya sebagai kepala keluarga, kepala lembaga, pemimpin bangsa, komandan perang di medan laga, maupun rakyat jelata. Maka, setiap Muslim akan kagum dan bangga melihat sosok Rasulullah SAW, baik menurut kaca mata ilmu dan kemanusiaan maupun kaca mata iman dan agama.
Dalam Alquran diungkapkan: Artinya: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah” (QS. Al-Ahzab [33]:21).
Al-uswah secara bahasa maknanya al-qudwah, yakni teladan yang harus diikuti. Kata Muhammad Ali Ash-Shabuni (1980:520), bahwa “Dalam pribadi Rasul yang agung ini terdapat teladan terbaik yang harus diikuti dalam keikhlasannya, perjuangannya, kesabarannya, dialah contoh utama yang harus ditiru dalam segala ucapannya, perbuatannya dan sifat-sifatnya, karena dia tidak berkata dan berbuat menurut hawa nafsunya, tetapi berdasarkan wahyu yang diturunkan, karena itu wajib bagi kamu mengikuti jalannya.”
Keteladanan Rasulullah SAW yang sangat fenomenal adalah keberhasilannya membangun komunitas masyarakat yang maju dan mandiri. Seperti dituturkan dengan tinta emas dalam tarikh (sejarah) Islam, bahwa setelah Rasulullah SAW dan para sahabatnya hijrah ke Yatsrib, maka mereka menemukan momentum dan lahan yang kondusif untuk menyemai benih-benih peradaban Islam.
Karena itu dalam manifesto perjuangannya, Beliau mengubah nama Yatsrib dengan Madinah. Perubahan nama ini mengindikasikan cita-cita Nabi Muhammad SAW yang hendak mewujudkan masyarakat ideal (madani) yang berperadaban tinggi. Maka, selama tinggal di Madinah, Rasulullah SAW berhasil membangun model masyarakat baru yang egaliter dan demokratis, yang lebih populer disebut masyarakat madani (civil society).
Nurcholish Madjid (1999:164) memberikan apresiasi yang mendalam mengenai perubahan nama Yatsrib menjadi Madinah, karena membawa implikasi sosiologis dan politis terhadap perubahan masyarakat ke depan. Dia menjelaskan, “Secara konvensional perkataan ‘madinah’ memang diartikan sebagai kota. Tetapi secara ilmu kebahasaan perkataan itu mengandung makna peradaban. Dalam bahasa Arab memang ‘peradaban’ dinyatakan dalam kata-kata madaniyah atau tamaddun, selain juga dalam kata hadharah. Karena itu tindakan Nabi SAW mengubah nama Yatsrib menjadi Madinah pada hakikatnya adalah sebuah pernyataan niat, atau proklamasi, bahwa Beliau bersama para pendukungnya yang terdiri dari kaum Muhajirin dan Anshar hendak mendirikan dan membangun masyarakat beradab”.
Dalam rentang waktu yang sangat singkat, sekitar 10 tahun tinggal di Madinah, Rasulullah SAW berhasil membangun tipe masyarakat ideal untuk ukuran zamannya. Sehingga, Madinah kemudian dikenal sebagai Madinatun Nabi (Kota Nabi). Al-Farabi filsuf Muslim Abab Pertengahan seperti diungkapkan Dawam Rahardjo (1993:495), menamakan masyarakat dengan ciri-ciri kosmopolitan itu sebagai Al-Madinah Al-Fadlilah (Masyarakat Utama). Maka tak berlebihan, bila sejarawan barat yang beragama Kristen, Michael Hart, dalam bukunya The Hundred, menempatkan Nabi Muhammad SAW pada urutan pertama dari 100 tokoh dunia yang paling berpengaruh sepanjang masa. Penilaian objektif ini berdasarkan pada asumsi, bahwa Nabi Muhammad SAW telah sukses membangun peradaban umat manusia secara gemilang dengan ajaran Islam yang diembannya.
Maka, umat Islam digelari Khaeru Ummah, artinya umat terbaik dan pilihan. Karena mampu menjadi lokomotif perubahan dengan membawa 3 misi kemanusiaan: (1) humanisasi, yaitu memanusiakan manusia dengan memerintahkan kebajikan; (2) liberasi, yaitu membebaskan manusia dari belenggu kedurhakaan dengan mencegah perbuatan munkar; dan (3) transendensi, yakni memelihara keimanan dan ketauhidan dalam kehidupan.
Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT: Artinya: “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik” (QS. Ali-‘Imran [3]:110). Wallahu A’lam Bish-Shawaab.
*) Widyaiswara Balai Diklat Keagamaan Bandung