REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sepeninggal al-Kindi, Islam kembali memunculkan seorang tokoh lainnya yang mengembangkan seni musik, yakni al-Farabi. Ia lahir di Farab, Kazakhstan pada tahun 870 Masehi dan wafat pada 950 Masehi. Sama seperti al-Kindi, selain bidang musik, al-Farabi juga menguasai beberapa disiplin ilmu, seperti filsafat, matematika, ilmu alam, dan lainnya.
(Baca: Al-Kindi Manfaatkan Musik Sebagai Media Terapi Penyakit)
Pada masa awal pendidikannya, al-Farabi, sebagai seorang Muslim, lebih dahulu mempelajari berbagai hal tentang Islam. Mulai dari membaca Alquran, mempelajari ilmu fikih, tafsir, hingga hadis. Selain ilmu agama, pada masa awalnya, ia juga meluangkan waktu untuk belajar tata bahasa, kesusastraan, serta aritmetika dasar.
Ia pun melanjutkan dan memperdalam ilmu agamanya di Bukhara, Uzbekistan. Di kota ini pula al-Farabi mulai berkenalan dan menimba berbagai ilmu yang berkaitan dengan musik. Kendati tak begitu diketahui siapa gurunya, setelah belajar di sana, ia menjadi tokoh paling berpengaruh dalam berkembangnya seni musik.
Serupa dengan al-Kindi, untuk mengabadikan wawasannya dalam bidang musik, al-Farabi menulis beberapa kitab khusus, salah satunya berjudul Kitabu al-Musiq al-Kabir. Kitab ini merupakan karyanya yang paling fenomenal.
Dalam kitabnya tersebut, al-Farabi memperkenalkan dan membahas tentang sistem pitch. Yakni perihal tinggi atau rendah nada dalam suatu bunyi dan getaran yang dihasilkan oleh instrumen maupun suara manusia. Semakin banyak getaran, maka nada yang akan dihasilkan akan semakin tinggi.
Selain hal tersebut, dalam Kitabu al-Musiq al-Kabir, al-Farabi juga menulis tentang daya magis musik yang mampu memengaruhi dan mengendalikan aktivitas emosi. Misalnya, ketika mendengar nada yang riang, pendengarnya akan cenderung merasakan hal serupa. Begitupun ketika terlantun nada yang sedih, pendengar secara tak sadar akan terbawa arus kesedihan.
Pengaruh karya al-Farabi berlangssung hingga abad ke-16. Kitab al-Musiq al-Kabir kemudian diterjemahkan oleh Ibn Aqnin (1160M-1226 M) ke dalam bahasa Ibrani. Sedangkan terjemahan dalam bahasa Latin diberi judul De Scientiis dan De Ortu Scientiarum.
Selain kedua tokoh tersebut, Islam masih memiliki nama penting yang mengembangkan seni musik. Misalnya, Abu Hamid al-Ghazali yang menyatakan bahwa musik dapat membantu seseorang meningkatkan perasaan religiusnya dan mengalami pengalaman mistik. Ada pula Jalaludin Rumi yang menyatakan bahwa musik merupakan media untuk mencapai penyatuan mistik dengan Tuhan. Ia bahkan memadukan musik dengan tari untuk mencapai pengalaman spiritual.
Para tokoh Muslim tersebut secara tak langsung menegaskan, musik bukan hanya sekadar hiburan. Musik pun dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan, seperti medis hingga media kontemplasi.




