REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Madinah al-Zahra bisa dikatakan bercita rasa lokal dan tak memiliki kesamaan prinsip arsitektur dengan kepempimpinan Islam saat itu. Kota ini tak memiliki sumbu sentral dan tidak banyak ditemukan bagian-bagian simetris, seperti yang banyak dijumpai pada struktur bangunan era Abbasiyah.
(Baca: Situs Madinah al-Zahra, Sejarah Tata Kota Islami)
Namun, model arsitektur Madinah al-Zahra yang kemudian dikenal luas ikut membawa pengaruh setelah masa-masa reformasi perkotaan pada pertengahan abad ke-10 atau 15 tahun setelah kota ini berdiri. Kontras pula dengan Alcazar yang sengaja dibuat memiliki dinding sebagai benteng sejak awal, Madina al-Zahra sengaja dibuat terbuka setidaknya hingga akhir masa Kekhalifahan Abdul Rahman III.
(Baca Juga: Butuh 40 Tahun Membangun Madinah al-Zahra)
Kota ini tumbuh dan berkembang pada laju yang sama dengan evolusi institusi khalifah dan negara. Inilah yang menjelaskan mengapa pusat administrasi dan balai pertemuan politik khalifah menjadi penting. Konstruksi semacam ini yang kemudian mengubah perencanaan area urban dan arsitektur Alcazar dengan dua tujuan utama, yaitu sentralisasi institusi administratif dan adaptasi istana untuk bentuk baru kekhalifahan.
Di luar itu, ada bangunan baru yang tak biasa di Alcazar dan tidak pernah ditemui pada zaman Madinah al-Zahra, seperti ruang Basilica yang diduga merujuk pada Dar al-Yund (rumah militer) yang merupakan sebuah bangunan besar dengan lantai persegi dengan pilar-pilar. Bangunan ini terletak di area atas dalam jenjang area Madinah al-Zahra.
Selain itu, ada pula sebuah bangunan lain yang diidentifikasi sebagai Dal al-Wusara yang diperuntukkan bagi para pejabat penting negara. Bangunan ini terletak di lahan luas yang bisa diakses pasukan kavaleri dan diperuntukan menjadi aneka prosesi keistanaan. Bangunan ini berperan penting dalam perkembangan seremonial kekhalifahan dan sekaligus menjadi ruang tunggu bagi para duta besar atau pejabat lain dalam jamuan politik khalifah.
Tak jauh dari itu, terletak Dar al-Wusara di mana para pejabat negara ditatar. Di sini juga terdapat aktivitas pengarsipan dokumen politik. Pengelompokan bangunan ini menunjukkan sentralisasi administrasi yang harus terhubung dengan pusat layanan negara yang dibentuk Khalifah Abdul Rahman III pada 955.
Kompleks ini juga memiliki ruang gambar yang sayangnya hancur. Ruang ini dikelilingi empat kolam dan sebuah paviliun utama serta sebuah ruang samping yang dikelilingi taman.
Area kunci lain di Madinah al-Zahra adalah balai pertemuan yang dibangun Khalifah Abdul Rahman pada 953-957. Ruangan ini diidentifikasi sebagai maylis al-sarqi (ruang timur) di mana biasanya dengar pendapat dengan para duta besar digelar, juga menjadi tempat perayaan Idul Fitri dan Idul Adha. Di tempat ini pula, para tamu penting dari Mediterania, Kerajaan Jerman, hingga Kerajaan Kristen pernah diterima.
Bagian paling unik dari bangunan-bangunan di sana adalah dekorasi dan ornamen unik di muka bangunan. Hal paling inovatif saat itu adalah ruangan bawah yang ditopang tiang-tiang dan sejumlah ornamen dekoratif yang sekilas tampak seperti batang-batang pohon dengan daun tersusun.
Bangunan ini memang banyak dihiasi karya seni bertema tumbuhan, yang menunjukkan kentalnya pengaruh era Abbasiyah. Ornamen lain yang terlihat adalah motif bintang-bintang yang menyimbolkan alam semesta dan interpretasi kode astronomi.