Selasa 11 Oct 2016 10:05 WIB

Umar Mahdi, Embah Wali, Taat Pribadi, dan Nestapa Kegilaan Sosial

Foto:

Di desa Tugurejo, Blitar Selatan, pada masa 1940 ada sepasang suami istri yang hidup nyaris telanjang yang bernama Embah Wali. Sebelumnya, pada tahun 1935, dia dikenal warga sebagai orang yang suka mengembara mengelilingi Jawa dan melakukan ritual asketis (mati raga). Bagi publik memang bisa disebut terkena ganggan mental, tapi di dalam komunitas Jawa justru bisa menunjukkan bila yang bersangkutan adalah pribadi yang telah bersentuhan dengan kekuatan yang luar biasa.

Pada akhir masa Revolusi, Embah wali menyatakan mendapatkan sebuah mimpi agar warga setiap malam membuat pertunjukan wayang. Gamelannya bisa terbuat dari apa saja, termasuk dapat dilakukan dengan meniru suara gamelan melalui ocehan mulut. Pertunjukan ini berlangsung sampai tahun 1954. Cerita yang mereka bawakan selalu terkait dengan upaya pencarian Ratu Adil.

Pada tahun 1955, tiba-tiba saja Embah Wali muncul dengan pakaian lengkap, mengenakan baju dan celana hitam seperti seorang petani -- sebuah peristiwa misterius, di mata warga desa menegaskan bahwa dia bukan petani biasa seperti mereka. Bahkan Embah Wali kemudian disebut sebagai Kerene Ratu (Ratu Pengemis). Gerakan ini di kemudian hari kemudian diketahui bila Sultan Hamengku Buwono IX yang dianggap oleh Embah Wali sebagai sosok seorang Ratu Adil--nya.

Beberapa minggu sebelum meletusnya pemberontakan G30S PKI 1965, Embah Wali bertingkah aneh kembali. Dia menggali lubang sampah yang sangat besar di desanya. Tindakan ini kemudian oleh pengikutnya ditafsirkan sebagai prediksi akan terjadi pembunuhan. Pada malam terjadinya kudeta, dia meninggalan rumahnya dan pindah (mengungsi) ke sebuah gubuk kecil di tengah sawah. Keanehan-keanehan semacam itu di mata warga menegaskan bila dia bukan orang biasa.

Namun, tak lama kemudian, Embah Wali terserang stroke dan sepenuhnya lumpuh selama dua tahun. Dan rupanya, tindakan mengisolasi diri dari masyarakat pada masa-masa yang sangat berat inilah yang justru menyelamatkan Embah Wali dari keharusan menghadapi nasib buruk yang diterima 'Mbah Suro' (sosok yang pada awal 1960-an dikenal sebagai 'orang pintar' dari Solo dan Gunung Lawu) pada tahun 1966. Ia selamat meski daerah tempat tinggalnya di Blitar Selatan menjadi tempat pertumpahan darah paling mengerikan di tahun 1965-1966.

Dari catatan sejarawan Australia, MC Ricklefs (Mengislamkan Jawa, Serambi 2013), Pada tahun 1970 Embah Wali sepenuhnya sembuh dari stroke. Dia kembali ke desa dari tempat pengungsiannya yang berada di tengah sawah. Para pengikutnya membangunkan rumah baru. Dia kemudian menggelar pertemuan-pertemuan di beranda rumahnya, yang bahasa Jawa disebut emper. Penyebutan pertemuan di emper ternyata kemudian berkonotasi lain, karena sekilas pengucapannya sama dengan MPR yang berada di Jakarta. Dalam pengertian mikro kosmos, Tugurejo kemudian menjadi ibu kota nasional di mana Embah Wali sebagai tuannya. Pada Pemilu 1971, Embah Wali mendukung Golkar. Apalagi ia sempat ke Jakarta untuk bertemu Sultan Hamengkubuwana IX, di mana dia diberi selebaran pemilu dengan gambar Sultan di dalamnya.

Pada tahun 1978, ketika gerakan mahasiswa diberangus, Embah Wali menghentikan pertemuan emper-nya karena tidak ingin dicurigai sebagai sisa-sisa gerombolan PKI. Namun di rumahnya para pengikutnya kemudian berinisiatif menggelar pertunjukan tari-tarian yang diselenggarakan setiap Minggu. Di acara ini setidaknya diikuti 600-900 orang. Dan pada saat yang hampir bersamaan, pada tahun itu, Embah Wali memimpin rombongan sebanyak lebih dari 2.000 dengan menumpang 50 bus pergi berziarah ke Yogyakarta untuk menunjukkan kesetiaannya kepada Ratu Adil-nya: Sri Sultan Hamengkubuwana IX.

Pada tahun 1988, Sultan Hamengkubuwono IX wafat. Embah Wali pun menutup pintunya dan tidak melakukan ritual apa pun untuk memperingati wafatnya Sultan. Uniknya, ketika Sultan Hamengkubuwono X naik tahta, Embah Wali kemudian mengumumkan kepada khalayak bahwa Ratu Adil telah pergi. Pada Mei 1990 Embah Wali pun mangkat. Ritual tari-tariannya pun perlahan-lahan menghilang. Pengikutnya pun kemudian menghilang.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement