Oleh: Nur Faridah
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kejujuran adalah salah satu syarat mutlak seorang pemimpin. Rasulullah SAW bersabda, “Tiada seorang yang diamanati oleh Allah memimpin rakyat kemudian ketika ia mati ia masih menipu atau membohongi rakyatnya, melainkan pasti Allah mengharamkan baginya surga” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Dalam hadis lain ditegaskan, kejujuran itu akan membawa pelakunya menuju surga. Sebaliknya, kebohongan membawa pelakunya menuju ke neraka. Nabi SAW bersabda, “Hendaklah kamu selalu jujur. Sesungguhnya kejujuran membawa kepada kebajikan dan kebajikan membawa ke surga. Selama seorang benar dan selalu memilih kejujuran dia tercatat di sisi Allah seorang yang jujur. Hati-hatilah terhadap dusta. Sesungguhnya dusta membawa kepada keburukan dan keburukan membawa kepada neraka. Selama seorang dusta dan selalu memilih dusta, dia tercatat di sisi Allah sebagai seorang pendusta (pembohong)” (HR al-Bukhari).
Pemimpin yang jujur tidak hanya membawa dirinya sendiri kepada kebaikan, tetapi juga membawa rakyat yang kelak akan dipimpinnya pada kebaikan juga. Tidak hanya itu, selama memimpin nanti ia akan mencintai rakyatnya, dan rakyatnya pun akan mencintainya. Hal itu terjadi karena rakyat percaya kepadanya sebagai pemimpin yang jujur, Allah pun mencatatnya sebagai orang yang jujur. Sebaliknya, jika calon pemimpin tidak jujur, rakyat tidak akan mempercayainya, dan Allah pun mencatatnya sebagai orang yang tidak jujur.
Nabi SAW bersabda, “Pemimpin-pemimpin pilihan di antara kalian ialah orang-orang yang kalian mencintai mereka dan mereka pun mencintaimu kalian, juga yang kalian mendoakan kebaikan untuk mereka dan mereka pun mendoakan kebaikan untuk kalian. Adapun pemimpin-pemimpin yang jahat di antara kalian ialah orang-orang yang kalian tidak menyukai mereka dan mereka pun tidak menyukai kalian, juga yang kalian mencela mereka dan mereka pun mencela kalian” (HR Muslim).
Pemimpin yang mencintai rakyatnya akan selalu memerhatikan mereka dan akan senantiasa memenuhi janji-janjinya yang pernah ia buat atau lontarkan saat sebelum menjadi pemimpin, tanpa pernah mengingkari dan membohongi mereka. Antara kata dan perbuatan selaras. Apa yang dikatakan, itu pula yang akan dilakukan. Segala kebijakan selalu berorientasi pada kemaslahatan rakyat, bukan menyengsarakan rakyat, misalnya, dengan melakukan penggusuran atau melakukan korupsi.
Pemimpin yang jujur, menjaga janji dan menunaikan amanatnya, tidak hanya dicintai dan didoakan kebaikan oleh rakyatnya, tetapi juga dicintai Allah dan Rasul-Nya. Nabi bersabda, “Barangsiapa ingin dicintai Allah dan Rasul-Nya hendaklah dia berbicara jujur, menepati amanat dan tidak mengganggu tetangganya” (HR al-Baihaqi).
Sebaliknya, pemimpin yang membohongi rakyatnya dan mengkhianati amanat yang telah diembankan kepadanya oleh rakyatnya, bukan hanya tidak mendapatkan cinta Allah dan Rasul-Nya, tetapi juga disebut sebagai orang yang tidak beriman dan tidak beragama. Nabi bersabda, “Tiada beriman orang yang tidak memegang amanat dan tidak ada agama bagi orang yang tidak menepati janji” (HR Ad-Dailami).
Kita perlu para pemimpin jujur yang menepati janji dan teguh memegang amanat. Karena pemimpin yang jujur akan membawa kemaslahatan bukan kerusakan. Kita tidak ingin memiliki pemimpin yang memiliki ciri-ciri orang munafik yang digambarkan Nabi dalam sabdanya, “Tanda orang munafik itu ada tiga: jika ia berbicara berdusta, jika ia berjanji mengingkari dan jika ia diberi amanat ia berkhianat.” (HR al-Bukhari). Wallahu a’lam