REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Partisipasinya dalam perang itu menggambarkan bahwa ia adalah pribadi yang berani. Ini tak terlepas dari karakter dan watak yang diwarisi dari sang ayah, Mu’awwadz bin Afra’, pejuang senior saat Perang Badar.
Tugasnya memang tidak berada di garis depan, tapi hal itu tak mengurangi peran krusial yang dijalankan. Ia bersama sahabat perempuan lainnya bertugas menyediakan logistik berupa makanan dan minuman serta merawat korban yang terluka. Sesekali ia juga mengantarkan korban yang meninggal akibat perang ke Madinah.
Perempuan itu ialah Ar-Rabi’ binti Mu’awwadz an-Najjariyyah. Sejak mengikrarkan dua syahadat dan terlibat dalam peristiwa Baiat Aqabah, perempuan yang bernama lengkap Ar-Rabi’ binti Mu’awwadz bin Afra’ bin Haram bin Jundub al-Anshariyah an-Najjariyah menyatakan pengabdian penuh terhadap Rasulullah.
Soal kecintaannya terhadap Baginda Rasul tak lagi diragukan. Ini tampak dari keputusan ar-Rabi’ dan sang suami, Iyyas bin al-Bakir al-Laitsi, untuk memberikan nama bagi buah pernikahan keduanya dengan nama Rasulullah, Muhammad.
Kekagumannya terhadap sosok Rasulullah juga terpancar dari berbagai testimoninya. Saat seorang tabiin, Abu Ubaidah bin Muhammad, bertanya kepada ar-Rabi’ seperti apakah figur Nabi? Ia melontarkan pujian dan permisalan yang sempurna. “Wahai putraku, jika engkau melihatnya, maka niscaya engkau akan melihat matahari yang terbit,” katanya.
Suatu saat ia pernah mendatangi Rasulullah dengan membawa bejana yang penuh kurma basah dan sedikit upah memanen. Nabi lalu meletakkannya kembali dan mengatakan kepada ar-Rabi’, “Berhias dan belilah pakaian dari rezeki ini.” Buku sejarah memang tak mengabadikan utuh biografi ar-Rabi’.
Akan tetapi, sepenggal kisah yang bertutur tentang kedekatan dan pengabdiannya terhadap Rasulullah sangat menginspirasi. Komitmen, dedikasi, dan kecintaan perempuan yang meninggal pada 70-an Hijriah saat Khalifah Abdul Malik bin Marwan itu terhadap Rasul dibuktikan melalui aksi nyata. Karena, siapa pun yang mengaku cinta Rasul, semestinya akan mengikuti titah dan sabda Kekasih Allah tersebut.
Perawi hadis
Tak hanya berani di medan perang, sumbangsihnya dalam periwayatan hadis juga diakui sekalipun riwayatnya terbilang nadir. Nadir dalam artian, topik utama di balik hadis itu adalah persoalan yang langka terjadi dan jawabannya sangat ditunggu umat Islam. Salah satu hadis yang ia riwayatkan ialah sabda Rasulullah SAW tentang diperbolehkannya boneka untuk tujuan mainan anak-anak.
Dalam hadis itu, sang perawi utama (rawi al’ala) mengisahkan ia pernah bermain boneka berbentuk anak perempuan di sisi Rasulullah SAW. Boneka itu berfungsi tidak hanya sebagai penghibur, tetapi juga sarana mendidik anak-anak. Konon, para ibu telah mengajari putra-putri mereka berpuasa. Bila si buah hati menangis, mereka memberikan boneka tersebut hingga waktu berbuka puasa tiba.
Nabi tidak berkomentar apa pun. Ia hanya berdiam diri. Sikap diam yang ditunjukkan Rasulullah menyikapi sebuah masalah itu, menurut kajian ilmu hadis, lantas dikenal dengan takrir atau ketetapan. Riwayat itu pun lantas menjadi legalitas dan dasar kuat diperbolehkannya boneka untuk kalangan anak-anak.
Selain hadis di atas, ada lagi, misalnya, riwayatnya soal tata cara wudhu yang dilakukan Rasulullah. Ia menyatakan, saat wudhu, Nabi mengusap kepala dua kali dari arah bagian belakang menuju depan serta mengusap kedua telinga yang mencakup bagian luar dan dalam. Walaupun sangat disayangkan tidak ada informasi yang akurat terkait berapa hadis yang ia riwayatkan.