REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Asisten Deputi Pengembangan Destinasi Wisata Budaya Kementerian Pariwisata, Lokot Ahmad Enda, mengatakan, masih ada pelaku usaha yang mempertanyakan dan khawatir saat usahanya menawarkan produk atau layanan halal. Padahal dalam konsep halalan thayiban, thayiban ini berarti halal, aman, dan sehat karena semua tahapan proses diaudit betul oleh otoritas.
''Saya pernah ke Parapat, Sumatera Utara. Ada pemilik rumah makan yang berminat sertifikasi halal. Di Lombok juga ada restoran makanan Cina pertama yang disertifikasi halal dan jadi laris sekali,'' kata Lokot, Rabu (21/9).
Jika wisatawan domestik masih bisa longgar dengan standar adanya sertifikat halal, maka tidak halnya bagi wisatawan Muslim mancanegara. ''Kalau tidak ada sertifikat halal, mereka tidak mau,'' kata Lokot.
Ia menyebut ada tiga restoran di Balige Sumatera Utara yang menunjukkan minat untuk sertifikasi halal. Persoalannya, LPPOM MUI Sumatera Utara berkantor di provinsi. Maka, pemerintah mendorong agar pendekatan dilakukan dua pihak dan akan ada disubsidi bagi pelaku usaha itu bekerja sama dengan Kementerian Koperasi dan UKM. Di sisi lain, Lokot juga memahami terbatasnya SDM LPPOM MUI.
Dari data yang disampaikan LPPOM MUI kepada Republika, dalam hampir sembilan bulan pertama 2016 atau hingga awal September 2016, untuk kategori pangan, sudah ada 1.075 perusahaan dan 39.556 produk yang menerima sertifikat halal. Jumlah ini meningkat dibandingkan serifikasi halal untuk kategori pangan sepanjang 2015 dimana teradapat 1.130 perusahaan dan 42.750 produk yang mendapat sertifikat halal.