REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia memang sudah memiliki regulasi pengelolaan zakat sebagaimana diatur dalam UU No. 23 Tahun 2011. Sayangnya, status zakat yang cuma sebagai pengurang penghasilan pajak membuat undang-undang itu belum berjalan sepenuhnya.
Direktur Utama LAZISMU, Andar Nubowo, meminta pemerintah melakukan penataan terhadap regulasi dunia perzakatan Indonesia yang tercantum dalam UU No.23 Tahun 2011, terutama pasal 22 dan 23. Hal itu dikarenakan umat Islam di Indonesia selama ini masih memiliki beban ganda, zakat dan pajak, sehingga kontribusi ke pembangunan belum bisa dilakukan secara maksimal.
"Kita mendorong revisi agar zakat itu sebagai pengurang pajak, sehingga umat Islam bisa maksimal berkontribusi ke pembangunan," kata Andar, Selasa (20/9).
Namun, ia menilai keinginan pemerintah menyelaraskan program pengentasan kemiskinan melalui dana zakat, sebagai indikasi niatan baik pemerintah untuk menegaskan status zakat sebagai pengurang pajak. Maka itu, Andar menekankan baik LAZISMU maupun NU Care-LAZISNU, sudah sepakat untung mendukung penyelarasan program pengentasan kemiskinan bersama pemerintah.
Senada, Direktur Utama NU Care-LAZISNU, Syamsul Huda, menegaskan revisi UU No. 23 Tahun 2011 pasal 22 dan 23 memang harus dilakukan, karena itu merupakan regulasi pokok yang akan membantu penyelarasan program. Ia berpendapat, status zakat di regulasi itu yang masih sebagai pengurang pajak, selama ini menjadi ganjalan peran umat Islam dalam pembangunan. "Kita dorong revisi UU No. 23 Tahun 2011, sehingga rencana itu tidak setengah-setengah," ujar Syamsul.
Ia menambahkan, wacana yang sudah baik itu memang harus dipikirkan dengan matang pelaksanaannya oleh lembaga-lembaga amil zakat bersama pemerintah, sehingga tidak menjadi rencana yang setengah-setengah. Menurut Syamsul, perencanaan matang itu akan membuat zakat benar-benar menjadi bingkai kebutuhan masyarakat, dan tentu saja mengentaskan kemiskinan di Indonesia.