REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Manusia memang tempatnya lupa dan salah. Namun, hari ini kita dapati model-model manusia yang melakukan dosa tak lagi malu-malu mengakuinya. Bahkan, dosa yang dilakukannya termasuk dosa besar.
Orang dengan alasan sepele mudah menghilangkan nyawa orang. Orang tak malu lagi melakukan zina. Bahkan, publik figur yang terang melakukan zina kini tetap dipuja sebagai idola. Sering juga didengar anak mudah memukul, bahkan hingga keji membunuh orang tuanya. Tak terhitung sudah berapa korban tewas akibat menenggak minuman keras. Masyarakat juga mulai terbiasa melakukan riba.
Berbagai dosa besar yang dilakukan tersebut apakah akan sampai dalam taraf menghilangkan keimanan seseorang?
Kemaksiatan dan dosa-dosa besar meskipun selalu dilakukan dan pelakunya tidak bertobat, akan mencabik-cabik dan mengurangi iman. Namun, tidak sampai merusak dasarnya dan menghapuskannya secara total.
Syekh Yusuf Qardhawi dalam fatwa kontemporernya mengatakan, jika dosa dan maksiat dipandang dapat menghancurkan dan mencabut iman dari akarnya serta mengeluarkan pelakunya dari Islam secara mutlak, berarti maksiat dan murtad merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan.
Pelaku maksiat berarti sama dengan seorang murtad yang wajib dijatuhi hukuman sebagai orang murtad. Hukuman orang yang murtad sendiri halal untuk dibunuh. Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa mengubah agamanya maka bunuhlah dia.” (HR Bukhari). Selain itu, beberapa perbuatan dosa besar ada hukuman tersendiri tanpa harus dibunuh. Ketentuan ini tentu saja tertolak dengan adanya nash dan ijmak.
Menurut Alquran, dalam kasus pembunuh dan wali korban pembunuhan justru ada hubungan persaudaraan jika wakil korban itu memaafkan sang pelaku. “Hai orang-orang beriman, diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik. Dan hendaklah (yang diberi maaf) mambayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik pula.” (QS al-Baqarah [2]: 178).
Wali korban pembunuhan di ayat ini disebut saudara bagi pelaku pembunuhan. Hal itu menunjukkan meski membunuh merupakanperbuatan dosa besar, ia tidak mengeluarkan seseorang dari Islam.
Dalam ayat lain, seorang mukmin yang berselisih dengan saudaranya, bahkan sampai berperang, tetap keduanya tidak dinilai keluar dari Islam. Padahal, jika sudah berperang, salah satu niat utamanya, yaitu membunuh lawannya.
Allah SWT berfirman, “Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah. Jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), damaikanlah antara keduanya dengan adil; dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu, dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.” (QS al-Hujuraat [49]: 9-10).
Makna kedua ayat di atas menetapkan adanya keimanan dan persaudaraan seagama antara sesama mukmin meskipun mereka berperang. Rasulullah SAW bersabda dalam hadis sahih, “Janganlah kalian kembali menjadi kafir sepeninggalku nanti, sebagian kalian memukul wajah sebagian yang lain!”
Kemudian hadis Rasulullah SAW lagi, “Bila dua orang Muslim berhadapan dengan masing-masing menghunus pedang maka yang membunuh dan yang dibunuh sama- sama masuk neraka!”
Dengan merujuk pada hadis yang disebut terakhir itu, Imam Bukhari berdalil bahwa kemaksiatan tidak menjadikan pelakunya kafir sebab Rasulullah SAW (dalam hadis tersebut) masih menyebutnya sebagai “dua orang Muslim” meskipun keduanya diancam dengan neraka. Adapun yang dimaksud peperangan di sini, yaitu bila terjadi tanpa takwil yang layak.
Seseorang yang berkhianat pun tidak dihukumi keluar dari Islam. Suatu ketika sahabat Hathib bin Abi Balta’ah pernah melakukan suatu kesalahan yang pada zaman sekarang dapat disebut sebagai “pengkhianatan terbesar” ketika ia hendak membocorkan rahasia Rasulullah SAW dan pasukannya kepada kaum Quraisy menjelang penaklukan Kota Makkah.
Ketika itu Umar berkata, “Ya Rasulullah, izinkan saya untuk memenggal lehernya karena ia telah berbuat munafik.”
Bagaimana sikap Rasulullah SAW? Apakah beliau menghukumnya? Tidak, beliau tidak menghukumnya. Beliau malah memaafkannya dengan alasan ia termasuk orang yang ikut serta dalam Perang Badar.