Jumat 09 Sep 2016 10:12 WIB

Konsekuensi Logis Kebebasan Beragama Bagi Tata Interaksi Sosial (Suatu Kajian Tafsir Tematik/Habis)

Interaksi sosial/ilustrasi
Foto: dailymail.co.uk
Interaksi sosial/ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh : H. Mahyuddin Nasution, MA.*)

Pengakuan atas kebebasan beragama sebagaimana sebelumnya di atas, menimbulkan berbagai konsekuensi logis dari penerapan Islam dalam kehidupan keseharian. Sejarah tidak pernah mengenal suatu bangsa muslim memaksa 'ahl az-żimmah' untuk masuk Islam. Rasulullah SAW menjelaskan bahwa siapa saja dari orang Islam yang memerangi ahl az-żimmah tidak akan mencium wangi surga sekalipun wangi sorga tersebut tercium sejauh perjalanan tujuh puluh tahun. Demikian Islam telah memelihara secara baik rumah-rumah ibadah milik non muslim serta menghargai kesucian ritual mereka. Hal ini dapat dilihat secara jelas, bagaimana Allah tidak mengizinkan melakukan perusakan terhadap rumah-rumah ibadah dalam keadaan aman dan damai.

"Dan sekiranya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadah orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang-orang yang menolong (agama)Nya." (QS 22:40).

Ayat ini diturunkan manakala terjadi pengusiran yang dilakukan kaum musyrikin terhadap Rasulullah SAW dan kaum muslimin di Madinah. Orang-orang musyrik akan melakukan perusakan terhadap rumah-rumah ibadah, baik biara, gereja dan masjid-masjid. Kaum muslimin diperintahkan Allah untuk mencegah hal itu supaya tidak terjadi.

Memang benar bahwa salah satu sasaran yang hendak dicapai dalam menjalin hubungan dengan penganut agama lain ialah mengajak mereka untuk memeluk Islam sesuai dengan misi Islam sebagai agama dakwah. Islam sebagai jalan keselamatan dunia dan akhirat menganjurkan umat Islam untuk mengajak orang lain agar memeluk Islam yang diikat oleh suatu tali akidah atau keimanan yang telah diturunkan kepada para Rasul sebelum Nabi Muhammad SAW.

Dalam hal ini Allah SWT menjelaskan dalam Alquran : "Katakanlah: Hai ahl al-kitâb, marilah kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dengan kamu, bahwa kita tidak sembah kecuali Allah dan tidak persekutukan Dia dengan sesuatu apapun dan tidak pula sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain dari pada Allah. Jika mereka berpaling, maka katakanlah kepada mereka: Saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang yang menyerahkan diri (kepada Allah)." (QS 3:64).

Ibn Jarîr ath-Thabâriy dalam menafsirkan ayat di atas menyatakan bahwa ayat tersebut mengajak kaum Yahudi dan Nasrani (Ahl al-kitâb) agar kembali kepada pegangan yang lurus di antara kaum muslimin dengan mereka, yaitu mentauhidkan Allah dan tidak menyembah selain Dia, tidak menganut suatu keyakinan atau mempertuhankan sesuatu selain Allah, membesarkan-Nya dan sujud kepada-Nya.

Menurut Muẖammad ‘Abduh ketika ahl al-kitâb dalam keadaan tidak yakin atas ketuhanan Isa As, maka keyakinan mereka mengalami guncangan. Ayat tersebut diturunkan untuk mengajak mereka supaya kembali kepada pokok-pokok dan ruh agama, yaitu tauhid,  suatu keyakinan yang telah didakwahkan oleh para Nabi dan Rasul sebelum Nabi Muhammad SWA.

Setelah Allah menjelaskan perlunya mengajak Ahl al-kitâb kepada tauhid, maka sebagian dari mereka menerima ajakan itu dan sebagian yang lain menolaknya. Sebagaimana dijelaskan dalam Alquran : "Mereka itu tidak sama, di antara Ahl al-kitâb segolongan yang berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari sedang mereka juga bersujud." (QS 3:113).

Menurut Muẖammad ‘Abduh ayat di atas menunjukkan bahwa di antara Ahl al-kitâb ada yang berpegang teguh pada ajaran agamanya yang hak sehingga ketika diajak memasuki Islam mereka dengan sukarela menerimanya. Sementara sebagian Ahl al-kitâb yang lain menolak. Penolakan mereka terhadap ajakan kepada tauhid tidak berarti bahwa eksistensi mereka diingkari oleh Islam. Mereka tetap sebagai suatu kelompok yang memiliki keyakinan dan aturan-aturan keagamaan yang wajib mereka laksanakan sendiri.

Karena itu, berkenaan dengan tata interaksi sosial dengan penganut agama lain. Islam membuka cakrawala pandang yang lebih luas dan membuka peluang besar dalam interaksi sosial dengan umat penganut agama lain. Hal ini, tercantum dalam persamaan kemanusiaan yang dicetuskan Islam dan tercermin dalam keluasan wilayah risalah Rasul-nya untuk semua umat manusia. Hal ini termaktub dalam QS 16:36. Di samping itu Islam menganjurkan tentang kesatuan nubuwwah dan umat yang percaya kepada Tuhan. Allah SWT berfirman: "Sesungguhnya (agama tauhid) ini adalah agama kamu semua, agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku." (QS 21:92).

Allah bukan hanya sebatas menjelaskan bahwa Dia tuhan yang harus disembah, tetapi juga menjelaskan bahwa agama yang dibawa Nabi Muhammad SAW adalah kelanjutan langsung dari agama-agama sebelumnya. Tambahan lagi Alquran secara tegas memerintahkan umat Islam untuk menjaga hubungan baik dengan orang-orang yang beragama lain, khususnya Ahl al-kitâb, sebagaimana dinyatakan Allah : "Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahl al-kitâb melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka dan katakanlah: Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kamu. Tuhan kami dan Tuhan kamu adalah satu, dan kami hanya kepada-Nya berserah diri." (QS 29:46).

Uraian di atas menjelaskan bahwa asas yang harus dipegang dalam berinteraksi dengan penganut agama lain adalah sikap hormat menghormati agama dan kepercayaan yang mereka anut. Dalam hubungan ini, Allah memberikan petunjuk, sebagai berikut : Katakanlah: "Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan dari bumi. Katakanlah: Allah, dan sesungguhnya kami atau kamu (orang-orang musyrik) nanti berada dalam kebenaran atau dalam kesesatan yang nyata." (QS 34:24).

Ayat tersebut pertama-tama mengajak kaum musyrik untuk menyadari bahwa sembahan-sembahan mereka tidak mampu memberikan rezeki dengan menurunkan hujan dari langit dan menyiapkan sumber rezeki lainnya untuk menghidupkan tumbuh-tumbuhan guna dimakan manusia dan binatang ternak. Kemudian pernyataan ayat “dan apakah kami atau kamu yang dalam kesesatan yang nyata” memberikan kesan seolah-olah belum ada kepastian bagi orang-orang yang mengucapkan kata itu (Nabi), apakah dia yang mendapat petunjuk (karena agama yang dianutnya yakni Islam) atau yang lain (kaum musyrikin) sebagai lawan bicaranya yang justru mendapat petunjuk karena agamanya, yakni berhala. Dengan perkataan lain seperti belum ada kepastian siapakah sebenarnya dari kedua belah pihak yang mendapat petunjuk dan siapa pula yang tersesat di jalannya.

Ayat di atas menggambarkan bagiamana seharusnya seorang muslim berinteraksi dengan penganut agama dan kepercayaan yang berbeda dengannya. Tidak dapat disangkal bahwa setiap penganut agama tak terkecuali Islam, meyakini sepenuhnya tentang kebenaran anutannya serta kesalahan anutan yag bertentangan dengannya.

Namun demikian, hal tersebut tidak harus ditonjolkan keluar. Apalagi, dikumandangkan di tengan masyarakat plural. Gaya bahasa ayat di atas oleh para Ulama disebut dengan istilah “uslūb al-inshâf”, dimana perbicara tidak secara tegas mempersalahkan mitra bicaranya, bahkan boleh jadi mengesankan kebanaran mereka. Ayat tersebut juga tidak menyatakan secara gamblang kemutlakan kebenaran ajaran Islam dan kemutlakan kesalahan pandangan lawan bicaranya.

Konsekuensi logis yang lain dari prinsip kebebasan beragama bagi tata interaksi sosial dengan penganut agama lain adalah bahwa umat Islam wajib menjalin hubungan secara baik dengan mereka apabila mereka menghormati umat Islam dan menghargainya serta tidak menghalangi kebebasan beragama umat Islam. Demikian pula sebaliknya. Hal inilah yang dinyatakan Allah : "Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusirmu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil." (QS 60:6).

Dalam menafsirkan ayat di atas Maẖmūd an-Nasafiy menyatakan, bahwa umat yang lain yang tidak memerangi atau tidak menghalangi umat Islam menjalankan ajaran agamanya hendaklah dihormati dan berbuat baik kepadanya dalam interaksi sosial, baik dalam bentuk perkataan maupun dalam bentuk perbuatan. Meskipun demikian, di kalangan ahli tafsir terdapat beberapa pendapat mengenai ayat tersebut. Menurut Qatâdah bahwa ayat tersebut menasakh ayat: "Dan bunuhlah mereka dimana saja kamu menemuinya." (QS 4:89). Alasannya adalah bahwa aturan hukum yang menyatakan  boleh bergaul dengan penganut agama lain merupakan suatu keringanan karena ada sebab, yaitu saat damai.

Sedangkan setelah usai damai, yaitu saat futūẖ Mekah, maka hukumnya terhapus, sekalipun tulisannya tetap terbaca. Menurut Mujâhid ayat tersebut berlaku secara khusus bagi orang-orang beriman yang tidak ikut hijrah ke Madinah. Mereka adalah para wanita dan anak-anak yang tetap berdomisili di kampung halamannya sendiri dan tidak boleh diperangi.

Dengan demikian, ayat tersebut dapat dijadikan salah dasar bagi interaksi sosial umat Islam dengan penganut agama lain. Hal ini telah dipraktikan pada masa Rasulullah SAW di Madinah. Ketika itu, umat Islam hidup dalam kemunitas sosial dengan penganuta agama lain. Salah satu hal yang diperhatikan oleh Nabi Muhammad SAW adalah pembuatan perjanjian dengan penganut agama lain (Yahudi) untuk hidup berdampingan secara damai.

Perjanjian tersebut dikenal dengan Piagam Madinah, yang isinya antara lain :

1.  Bahwa kaum Yahudi hidup damai bersama-sama dengan kaum muslimin dan kedua belah pihak bebas memeluk dan menjalankan  agamanya  masing-masing.

2. Kaum muslimin dan kaum Yahudi wajib tolong-menolong untuk siapa saja yang memerangi Islam. Orang Yahudi memikul tanggung jawab belanja sendiri dan orang Islam memikul belanja meraka sendiri.

3. Kaum muslimin dan kaum Yahudi wajib nasehat-menasehati dan tolongmenolong dalam melaksanakan kebijakan serta keutamaan.

4. Bahwa kota Madinah adalah kota suci yang wajib dihormati oleh mereka yang terikat dengan perjanjian itu. Bila terjadi perselisihan antara kaum Yahudi dengan kaum muslimin sekiranya dikhawatirkan yang akan mengakibatkan hal-hal yang tidak diinginkan, maka urusan tersebut hendaknya diserahkan kepada Allah dan Rasul.

5. Bahwa siapa saja yang tinggal di dalam atau di luar kota Madinah wajib dilindungi kemanan dirinya, kecuali orang yang zalim dan yang bersalah, sebab Allah menjadi pelindung terhadap orang-orang yang berbaik hati.

Perjanjian di atas merupakan sekelumit bukti yang menunjukkan bahwa perjanjian politik yang dibuat oleh Rasulullah SAW sejak XV abad yang silam telah menjamin kemerdekaan beragama dan berpikir serta hak-hak kehormatan jiwa  dan harta, baik bagi golongan muslim maupun bagi golongan non muslim. Sebaliknya, Islam melarang umatnya bergaul dengan penganut agama lain yang berusaha menghalangi umat Islam dalam menjalankan agamanya atau yang mengusir mereka dari negeri mereka sendiri.

"Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu dan barang siapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim." (QS 60:9).

Dari uraian di atas diketahui bahwa Islam sangat memperhatikan toleransi dalam pergaulan sosial denga penganut agama lain. Bertrand Russel memandang, ajaran toleransi dalam Islam berasal dari hakekat Islam itu sendiri. Ajaran inilah yang menyebabkan Islam mampu memerintah dan menguasai wilayah yang begitu luas dari berbagai bangsa yang ada di dunia.

Sikap toleransi yang inheren dalam watak Islam itu sendiri, karena Islam lebih mementingkan perdamaian dan kedamaian dari pada permusuhan dan peperangan. Sikap toleransi telah dipraktikan oleh Rasulullah SAW. Rasulullah menerapkan dasar toleransi dalam hubungan beliau dengan kaum musyrikin yang dibuat melalui naskah perjanjian, baik pada saat dalam keadaan damai maupun pada saat di medan perang.

Perjanjian Ḫudaibiah adalah salah satu contoh nyata dari sikap saling menghormati yang ada dalam ajaran Islam, dimana Rasulullah SAW pada saat itu dihalangi oleh kaum musyrik Makkah untuk datang melakukan umrah ke Makkah. Kaum musyrik Makkah pada saat itu menghadapi kedatangan Rasulullah SAW berasama para sahabat dalam situasi siap perang. Tetapi, hal itu tidak terjadi dan berakhir dengan tercapainya perjanjian Ḫudaibiah.

Jaminan atas kebebasan beragama merupakan kebutuhan dasar manusia, bahkan merupakan kebutuhan yang paling asasi dalam kehidupan manusia. Kebutuhan akan kebebasan beragama mendapatkan perhatian sangat besar dalam Alquran yang oleh para Fuqahâ dikategorikan sebagai salah satu kebutuhan naluri manusia. Karena itu, Islam harus disebarkan di tengah-tengah masyarakat dengan cara bijaksana, tanpa tekanan dan paksaan dalam bentuk apapun. Sebab, keimanan tidak akan tumbuh dari paksaan dan tekanan.

Jaminan dasar atas kebebasan beragama memberi implikasi dalam tata interaksi sosial antara umat Islam dengan penganut agama lain. Dalam pergaulan sosial umat Islam dengan penganut agama lain, islam memerintahkan untuk berlaku adil terhadap mereka. Umat Islam dapat bekerja sama dalam berbagai kegiatan sosial sepanjang tidak mengorbankan prinsip akidah, yang kesemuanya demi terciptanya perdamaian. Sungguhpun demikian sikap menolak boleh dilakukan apabila umat Islam dihalangi dalam menjalankan kewajiban agamanya. Kebebasan beragama dilakukan tanpa melanggar batas-batas yang akibatnya memunculkan kekacauan dalam interaksi sosial.

 

Dosen UIN Sumatera Utara*)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement