Kamis 08 Sep 2016 11:16 WIB

Prinsip Kebebasan Beragama (Suatu Kajian Tafsir Tematik: Bagian 2)

Aksi Muslim Thailand memprotes kebebasan beragama di Bangkok
Foto: nbcnews
Aksi Muslim Thailand memprotes kebebasan beragama di Bangkok

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: H. Mahyuddin Nasution, MA.*)

Di antara jaminan dasar yang dipeliharan dan dilindungi oleh Islam adalah terlindungi dan terpelihara agama. Atau yang lebih dikenal dengan sebutan hak kebebasan beragama. Setiap orang berhak memeluk agamanya masing-masing dan tidak boleh dipaksa untuk meninggalkannya atau melakukan tekanan terhadap pemeluk agama dengan cara apapun agar ia pindah ke agama lain.

Islam tidak membenarkan adanya pemaksaan kepada pemeluk agama di luar Islam untuk pindah ke agama Islam. Demikian pula sebaliknya, dimana orang luar Islam tidak dibenarkan memengaruhi orang yang Islam supaya ia keluar dari Islam. Hal ini didasarkan pada alasan bahwa keyakinan beragama yang dipaksakan tidak akan bias menimbulkan keyakinan yang sebenarnya.

Berkaitan dengan hal tersebut Alquran menyatakan secara jelas bahwa tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari pada jalan yang salah. (QS 2:256). Dalam menjelaskan ayat tersebut Yūsuf Ali memberikan komentar bahwa iman merupakan prestasi moral. Dan sebagai kelengkapannya, maka setiap orang yang beriman harus memiliki kesabaran, tidak marah bila berhadapan dengan orang kafir.

Di samping itu, yang lebih penting lagi adalah mereka tidak boleh memaksakan imannya kepada orang lain. Baik melalui tekanan phisik maupun melalui tekanan sosial, bujukan kekayaan, kedudukan dan keunggulan lainnya. Iman yang dipaksakan bukanlah iman yang sebenarnya. Orang harus berjalan secara spiritual dan biarkan rencana Tuhan berjalan sebagaimana dikehendaki.

Ibn Katsîr ketika menafsirkan ayat tersebut di atas  mengemukakan bahwa seseorang tidak boleh memaksa siapapun untuk memeluk agama Islam. Sebab, sudah cukup jelas petunjuk dan bukti-buktinya, sehingga tidak perlu ada pemaksaan terhadap seseorang untuk memasukinya.

Para ahli tafsir menginformasikan bahwa sebab turunnya ayat tersebut menunjukkan bagaimana Islam menganut kebebasan beragama. Diriwayatkan bahwa ‘Abdullâh ibn `Abbâs menjelaskan tentang seorang wanita yang mandul atau kurang subur. Ia menetapkan atas dirinya sendiri bahwa jika ia melahirkan anak yang dapat terus hidup, maka anak itu akan dijadikannya menjadi seorang Yahudi. (Hal ini merupakan kebiasaan wanita-wanita Anshar pada zaman Jahiliah).

Ketika Bani an-Nadhîr (suatu suku kaum Yahudi di Madinah) diusir dari perkampungannya dan di antara mereka terdapat beberapa orang dari keluarga Anshar. Ayah-ayah mereka berkata: Kita tidak biarkan anak-anak kita (maksudnya kami tidak akan membiarkan mereka tetap beragama Yahudi supaya mereka tidak ikut diusir). Dalam hal ini Allah SWT menurunkan ayat: Tidak ada paksaan dalam agama.

Latar belakang sebab turunnya ayat yang tersebut dalam QS 2:256 menurut  riwayat  Sa’îd dari Ibn ‘Abbâs bahwa seorang Anshar dari Banî Salîm ibn `Auf mempunyai dua orang anak laki-laki beragama Nasrani. Ia bertanya kepada Nabi SAW apakah ia  boleh memaksa mereka supaya mereka masuk Islam, maka turunlah ayat ini untuk menjawab pertanyaan tersebut.

Dengan demikian, meskipun ada pemaksaan dari orang tua untuk menganut agama tertentu, Alquran tetap menolak pemaksaan itu. Karena, iman sebagaimana dikenal di kalangan Islam, bukan hanya merupakan kalimat yang diucapkan secara lisan atau dengan melakukan gerakan-gerakan tertentu dalam upacara keagamaan yang dilaksanakan dengan anggota tubuh semata. Namun, pokok iman adalah pengakuan hati, kepatuhan serta penyerahan diri kepada Tuhan seutuhnya.

Oleh karena itu, tidak dibolehkan pemaksaan suatu agama terhadap seseorang. Karena, ia dipandang mampu untuk menentukan agamanya dan ia harus diberi kebebasan untuk membedakan dan memilih sendiri mana yang benar dan mana yang salah. Kewajiban orang tua adalah menunjukkan mana yang benar dari agama yang akan diharapkannya untuk dianut anaknya dan menunjukkan  mana yang tidak benar dari agama lain yang tidak dianut oleh orang tua.

Orang tua punya kewajiban dan tanggung jawab untuk menjelaskan yang hak dengan yang batil terhadap anak. Orang tua punya tanggung jawab besar dalam membimbing dan mengarahkan anak menuju jalan hidayah dan jalan yang benar yang dilakukan dengan bijaksana, tanpa memaksa dan melakukan tekanan terhadapnya.

Di samping itu, tuntutan keimanan yang benar dalam Alquran didasarkan pada keimanan dan kepercayaan sepenuhnya terhadap Tuhan melalui hati, yang harus diucapkan secara tegas di lisan tentang keimanan tersebut dan dibuktikan dengan melaksanakan perbuatan-perbuatan tertentu atas dasar perintah Tuhan yang diimani dan dipercayai.

Oleh karena itu, Allah SWT telah menciptakan kemampuan bagi manusia, maka Dia tidak lagi mengirimkan utusan atau rasul setelah Nabi Muhammad SAW. Deretan para Nabi dan Rasul telah ditutup oleh kedatangan Nabi Muhammad SAW sebagai Rasul penutup. Nabi Muhammad SAW membawa dasar-dasar pokok ajaran yang terus menerus dapat dikembangkan untuk segala zaman dan tempat. Manusialah yang secara kreatif menangkap pesan dalam pokok ajaran Nabi penutup dan memfungsikannya dalam kehidupan nyata yang sedang mereka jalani.

Firman Allah SWT dalam Alquran surat al-Baqarah ayat (256) di atas menurut Nur Kholis Majid menegaskan bahwa jalan hidup tiranik adalah lawan hidup beriman kepada Allah. Hal ini berarti bahwa jalan hidup berdasarkan iman kepada Tuhan adalah kebalikan dari sikap maksa-maksa. Sebaliknya, iman kepada Tuhan sebagai jalan hidup menghasilkan moderasi atau sikap 'tengah' dan tanpa ekstrimitas. Beriman kepada Allah melahirkan sikap yang selalu menyediakan ruang bagi pertimbangan akal sehat untuk membuat penilaian yang jujur atau adil bagi setiap persoalan.

Sebagai konsekuensi logis dari kenyataan tersebut bahwa iman kepada Allah dan menentang tirani mempunyai kaitan logis dengan prinsip kebebasan beragama. Dalam hal ini Allah SWT mengingatkan Rasulullah SAW sebagai berikut: "Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang ada di muka bumi seluruhnya, maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya". (QS. 10:99).

Menurut Muhammad ‘Abduh ayat di atas mengingatkan Rasulullah Muhammad SAW bahwa jika Allah menghendaki semua penduduk bumi beriman tentu tidak sulit baginya untuk menghunjamkan rasa iman ke dalam lubuk hati mereka, sehingga mereka laksana Malaikat dimana fitrahnya tidak dijadikan untuk selain beriman kepada Allah SWT. Ayat tersebut menurut Muhammad ‘Abduh, sama maknanya dengan firman Allah: "Dan kalau Allah menghendaki niscaya mereka tidak akan mempersekutukan-Nya (Q.S. 6:107) dan Jikalau Tuhanmu menghendaki tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat". (QS 11:116).

Ayat-ayat tersebut di atas mengandung pengertian bahwa jika Allah menghendaki untuk tidak menciptakan manusia dilengkapi dengan ftrah akan keimanan dan kekufuran, kebaikan dan kejahatan yang dengan kehendak dan pilihannya (manusia) dapat menerima dan menolak hal-hal yang mungkin sesuai dengan kapasitas yang dimiliki, maka Allah dapat mewujudkannya. Ketika manusia diciptakan Allah, maka Dia menciptakan sebagian dari mereka beriman dan sebagian yang lainnya tidak beriman.

Dalam menafsirkan firman Allah, "maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya". (Q.S. 10:99), Muẖammad ‘Abduh menyatakan, bahwa pemaksaan keimanan bukanlah merupakan otoritas Rasulullah SAW. Kewajiban beliau hanyalah menyampaikan ajaran tanpa ada unsur-unsur pemaksaan terhadap manusia. Hal ini seperti disebutkan Allah dalam QS. 88:21 & 22, QS. 18:18, QS. 50:45 dan sebagainya.

Dengan demikian, prinsip kebebasan merupakan perhormatan bagi manusia dan Allah. Karena Allah memberi hak kepada manusia untuk memilih sendiri jalan hidupnya, tentu tidak perlu lagi ditegaskan bahwa risiko semua pilihan itu adalah tanggung jawab manusia sepenuhnya. Allah telah menunjukkan mana jalan yang hak dan yang batil.

Perlu dicatat bahwa yang dimaksud dengan tidak ada paksaan dalam menganut agama adalah menganut akidahnya. Ini berarti, jika seseorang telah memilih satu akidah, katakan saja akidah Islam, maka dia terikat dengan tuntunan-tuntunannya, dia berkewajiban melaksanakan parintah-perintahnya. Dia terancam sanksi bila melanggar ketetapannya. Ia tidak boleh berkata bahwa Allah telah memberi saya kebebasan untuk shalat atau tidak, berzina atau nikah. Karena, bila dia telah menerima akidahnya, maka ia harus melaksanakan tuntunannya.

Allah SWT menghendaki agar setiap orang merasakan kedamaian dan kedamaian tidak akan dapat diraih apabila jiwa tidak damai. Paksaan menyebabkan jiwa tidak damai. Karena itu, tidak ada paksaan dalam meganut keyakinan agama Islam. Mana jalan yang benar (hak) dan mana pula jalan yang salah (batil) telah sangat jelas. Sangatlah wajar jika setiap pejalan memilih jalan yang benar dan tidak terbawa ke jalan yang sesat. Hanya orang yang jiwanya keliru yang enggan menelusuri jalan yang lurus, lalu menempuh jalan yang sesat yang berliku.

Pelembagaan prinsip kebebasan beragama untuk pertama kali dalam sejarah umat manusia adalah yang dibuat oleh Rasulullah SAW. Hal ini terjadi setelah hijrah dari Makkah ke Madinah dan beliau menyebutkan masyarakat majemuk, karena menyangkut unsur-unsur non muslim. Sekarang prinsip kebebasan beragama itu telah dijadikan sebagai sendi sosial politik modern.

Prinsip itu dijabarkan oleh Thomas Jefferson yang “Deist” dan “Uniterianist Universatelist”, namun ia menolak agama formal. Kemudian prinsip ini dijabarkan pula oleh Robepierre, seorang yang percaya akan “Wujud Yang Maha Tinggi”, tetapi ia juga menolak agama formal. Sikap mereka yang demikian mungkin karena agama yang mereka kenal waktu itu tidak mengajarkan kebebasan beragama. (bersambung/bagian 3)

Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement