REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga Amil Zakat (LAZ) Al Azhar kembali menggelar kajian ekonomi Islam. Mengangkat tema Gharar Dalam Transaksi Islam, kajian membahas kebiasaan jual beli masyarakat yang tidak sesuai syariah Islam.
Direktur Eksekutif LAZ Al Azhar, Sigit Iko Sugondo, menyinggung kebiasaan jual beli di masyarakat yang sebenarnya tidak sesuai dengan syariah Islam, tapi kerap dianggap wajar dan didiamkan. Ia menuturkan, kebiasaan itu seperti tulisan harga dapat berubah tanpa pemberitahuan, barang yang sudah dibeli tidak bisa dikembalikan dan pecah berarti membeli.
"Padahal Islam sudah mengatur kalau dalam proses jual beli, pembatalan sah saja dilakukan yang disebut dengan khiyar," kata Sigit di Universitas Al Azhar Indonesia, Sabtu (3/9).
Ia menerangkan, jual beli dalam Islam adalah pertukaran harta atas dasar saling rela, atau memindahkan milik dengan ganti yang dapat dibenarkan berupa alat tukar yang sah. Transaksi yang diperbolehkan harus memenuhi rukun dan syariatnya seperti terdapat penjual dan pembeli, benda yang dijual, alat tukar yang sah dan ijab kabul.
Jual beli yang dilarang, lanjut Sigit, tidak jelas barangnya baik segi ukuran, bentuk, sifat dan bentuk atau disebut gharar, termasuk yang sering dilakukan lembaga zakat penjual hewan kurban. Ia mengingatkan, mengelola amanah kurban dengan zakat jauh berbeda, termasuk ada tidak ijab qabul dan soal sisi fiqih dan muamalah yang harus diperhatikan.
"Jangan sampai lembaga zakat kalah transparan dengan tukang kambing di pinggir jalan, padahal seharusnya lembaga zakat mampu jadi pionir menegakkan akad jual beli sesuai syariah," ujar Sigit.
Hal itu dikarenakan, tukang kambing pinggir mampu menampilkan secara fisik hewan kurban yang dijual, serta bisa dilihat sehat atau cacat. Sementara, masih ada lembaga zakat yang tidak bisa menjelaskan seperti apa hewan kurban yang ditawarkan seperti fisik, berat dan keberadaan hewan, yang semuanya bisa mengarah ke gharar.