REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Seiring meningkatnya situasi kekerasan di Barat baru-baru ini, radikalisasi Muslim telah menjadi topik yang populer di Selandia Baru. Sejak akhir tahun lalu, parlemen telah mengeluarkan undang-undang antiterorisme dalam upaya mencegah Kiwi bergabung dengan organisasi teroris. Generasi muda Muslim dianggap paling rentan terhadap radikalisasi. Mereka menjadi pihak yang sering dipersalahkan.
Untuk sebuah negara yang membanggakan multikulturalisme dan keragaman, akankah Muslim menghadapi diskriminasi? Psikolog dan peneliti dari Victoria University, Dr. Jaimee Stuart, mengiyakan hal itu. Stuart, dalam penelitian Victoria University 2009 yang belum dipublikasikan, menemukan orang-orang Selandia Baru menilai Muslim lebih rendah daripada kelompok agama lain.
Saat kebanyakan imigran usia tiga puluh ke atas bergulat dengan nilai-nilai budaya negara lama dan negara baru, pemuda Muslim menghadapi lapisan kompleksitas tambahan; identitas etno-religius. Hal itu diungkapkan Stuart setelah menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk meneliti dinamika pemuda Muslim negara itu.
Representasi media juga menjadi soal bagi generasi muda Muslim. Keberhasilan integrasi pemuda Muslim di seluruh dunia bertentangan dengan gambar yang disajikan di media. Karena itu, inisiatif pemuda Muslim untuk melakukan hal-hal positif diperlukan untuk menjembatani kondisi ini. Cara terbaik untuk mengubah pandangan Islam adalah melalui aktivitas amal membantu mereka," ujar Stuart menegaskan.