Kamis 01 Sep 2016 08:25 WIB

Warisan Korupsi dan Sandiwara Secangkir Kopi Ngeri-Ngeri Sedap

Secangkir kopi
Foto:
Ketua Yayasan Dompet Dhuafa, Ismail A Said menerima penghargaan Ramon Magsaysay Award Foundation (RMAF)

Hidup memang “ngeri-ngeri sedap”. Batin saya berkata: “Bro, keluarga bisa elo bohongi dalam satu masa. Elo juga bisa bohongi sebagian keluarga sepanjang masa. Tapi ingat, Bro. Elo kagak bakal bisa bohongi mereka semua sepanjang masa. Ingat-ingat itu”.

Dipikir-pikir, sandiwara itu tak mesti berbohong. Saya ingat, di RT saya ada warga yang pegang HRD di perusahaan top ten di Indonesia. Herannya, dia tak pernah berinteraksi dengan tetangga. Padahal mobilnya diparkir di sebelah pos keamanan. Boro-boro salam, senyum pun tidak. Dongkolnya sekuriti sudah di ubun-ubun. “Herannya, kok ya bisa pegang HRD di perusahaan kelas kakap”.

Hidup ini memang sandiwara. Penuh kamuflase. Hebat di perusahaan, tetapi memble di lingkungan. Hebat di luar, tapi senewen di rumah. Bisa objektif, tegas, dan muantaaab pimpin anak buah. Tetapi tak berkutik, bahkan tak berani tegur anak istri.

Sebaliknya, ada juga yang hebat di rumah, tapi mejan di kantor. Di rumah bisa tegas dan cepat. Di luar rumah babnya jadi lain. Begitu tegasnya, hingga di keluarga dijuluki si zalim. Tetapi mengapa di pergaulan jadi orang baik, dewasa, bahkan kebapakan. Hingga banyak yang yakini keluarganya pasti bahagia.

Hidup memang seperti kopi. Saya pula yang jadi sendoknya. Selalu saja perasaan anak istri saya aduk-aduk dengan “horor kehidupan”. Perintah tak bisa dibantah, itu sudah remukkan perasaan anak-anak. Emosi meledak tanpa sebab, itu jadi tungku pemanggang istri. Anak istri pun harus mampu endus apa yang saya mau. Seolah saya tak mau tahu kebingungan seisi rumah.

Kopi Gayo kesukaan saya, tiap pagi terseduh di meja. Tanpa sadar, tiap pagi itu hitamnya saya seruput. Biasa menyeruput yang hitam-hitam, boleh jadi saya jadi tak sadar. Jangan-jangan tiap hari saya hitami keluarga dengan lumuran noda.

Beranikah saya terus terang asbabul wurudz uang yang saya bawa. Beranikah saya bilang uang nafkah itu dari suap, korup, bunga, atau hal-hal haram lainnya. Beranikah saya jujur berkata: “Apa yang sebenarnya saya lakukan di luar rumah?” Saat sedang up set, ingatkah wajah lugu nan polos anak istri di rumah?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement